Kamis 12 Apr 2018 11:24 WIB

Sistem Waris Masa Jahiliyah, Seperti Apa?

Masyarakat Arab jahiliyah telah mengenal sistem kewarisan.

Rep: Syahruddin el-Fikri/ Red: Agung Sasongko
Harta warisan (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Harta warisan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Orang-orang Arab jahiliyah (sebelum Islam), dikenal sebagai bangsa yang gemar mengembara dan senang berperang. Kehidupan mereka, sedikit banyak, tergantung pada hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa atau suku-suku yang telah mereka taklukan. Di samping juga mereka memperolehnya dari hasil perniagaan.

Sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi nabi, masyarakat Arab jahiliyah telah mengenal sistem kewarisan. Dalam hal pembagian harta warisan, mereka berpegang teguh kepada adat istiadat yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Pada masa ini, waris-mewarisi terjadi karena tiga sebab, yaitu karena adanya pertalian kerabat atau hubungan darah, pengakuan atau sumpah setia, dan pengangkatan anak. Sebab-sebab itu masih belum mencukupi sebelum ditambah dengan dua syarat tambahan, yakni sudah dewasa dan merupakan laki-laki.

•    Perempuan dan anak-anak

Pada masa Jahiliyah, anak laki-laki yang belum dewasa serta perempuan, tidak berhak mendapat warisan dari harta peninggalan orang yang meninggal dunia. Bahkan mereka beranggapan, bahwa janda dari orang yang meninggal itu dianggap sebagai warisan dan boleh berpindah tangan dari si ayah kepada anaknya.

Masyarakat Arab jahiliyah menganggap, anak-anak tidak mungkin menjadi ahli waris karena belum mampu berperang, menunggang kuda, memanggul senjata ke medan perang serta memboyong harta rampasan perang. Disamping itu, status hukumnya juga masih berada di bawah perlindungan.

Sementara kaum perempuan tidak masuk dalam kelompok ahli waris karena fisiknya yang tidak memungkinkan untuk memanggul senjata dan bergulat di medan laga serta jiwanya yang sangat lemah bila melihat darah.

Dalam sebuah riwayat disebutkan, satu-satunya orang pada masa jahiliyah yang mewariskan hartanya kepada anak perempuan dan anak laki-laki adalah Amir bin Jusyaim bin Ganam bin Habib. Dia adalah seorang pemuka bangsa Arab pada masa jahiliyah yang mewariskan hartanya sesuai dengan aturan Islam. Ia membagi harta warisan dengan ketentuan bagian laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan (1:2).

•    Sumpah setia

Pengakuan yang berupa ucapan atau sumpah-setia antara dua orang yang mengikatkan keduanya, pada masa Jahiliyah berhak mendapatkan harta warisan. Misalnya berupa ucapan: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, kamu mewarisi hartaku aku pun mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena tindakanmu terhadapku aku pun dituntut darahku karena tindakanku terhadapmu.”

Sumpah setia tersebut baru terjadi dan mempunyai kekuatan hukum apabila kedua belah pihak telah mengadakan ijab qabul. Setelah kedua pihak saling menyetujui, maka kedua orang itu berhak saling mewarisi. Ketentuan seperti ini sampai masa awal-awal Islam masih berlaku, dan masih dibenarkan menurut Alquran surat an-Nisa' ayat 33.

•    Anak angkat

Pengangkatan anak merupakan adat kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Arab jahiliyah, walaupun anak tersebut mempunyai orang tua yang masih hidup. Pada masa jahiliyah, dengan mengangkat anak maka anak tersebut akan berstatus sebagai anak kandung bagi orang yang mengangkatnya dan dinasabkan kepada bapak angkatnya, bukan kepada bapak kandungnya.

Ini berarti, seorang anak laki-laki yang menjadi anak angkat, jika telah dewasa dapat menjadi ahli waris dari bapak angkatnya. Karenanya, dalam segala, hal anak yang diangkat ini mempunyai hak-hak yang sama dengan hak-hak anak kandung, misalnya nasab dan warisan.

Sebagaimana halnya pewarisan atas dasar pertalian kerabat, pewarisan atas dasar ikatan sumpah setia dan pengangkatan anak pun disyaratkan harus orang laki-laki yang sudah dewasa. Sebab, alasan yang melatarbelakangi mereka untuk mengadakan sumpah setia adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka.

Tujuan tersebut niscaya tidak mungkin dapat direalisasikan sekiranya pihak-pihak yang mengadakan janji prasetia itu masih anak-anak atau perempuan. Dan keinginan mereka melakukan pengangkatan anak pun bertujuan melangsungkan silsilah keturunan serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan yang mereka miliki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement