REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam Ensiklopedi Muhammad sebagai Negarawan disebutkan bahwa pada masa Rasulullah SAW, kekayaan yang diperoleh dari zakat didistribusikan kepada delapan asnaf (orang-orang yang berhak menerima zakat). Sebagian besarnya didistribusikan kepada kaum miskin di daerah asal tempat zakat dikumpulkan. Penerimaan dari zakat ini hanya dibebankan kepada penduduk Muslim, selain juga karena zakat ini merupakan kewajiban dalam ajaran Islam.
Sementara terhadap penduduk non-Muslim, Rasulullah selaku kepala negara dan pemerintahan menerapkan sistem pungutan pajak berupa jizyah, kharraj, dan 'usyr. Jizyah adalah semacam pajak perlindungan yang diambil dari penduduk non-Muslim dewasa. Akan tetapi, mereka yang menggabungkan diri untuk menjadi tentara dibebaskan dari beban pajak ini.
Sedangkan, kharraj ditarik dari peladang dan petani non-Muslim sebagai kompensasi bagi pemberian hak kepemilikan tanah kepada mereka (jadi semacam pajak bumi/tanah, red). Sementara 'usyr merupakan pungutan oleh negara yang dibebankan atas hasil produktivitas pertanian atau sering disebut sebagai zakat pertanian dan sifatnya wajib dibayarkan oleh para pemilik hasil pertanian.
Para wajib jizyah
Pada masa awal perkembangan Islam, permasalahan jizyah merupakan sesuatu yang belum diwajibkan dan diatur dengan jelas. Permasalahan ini mulai mengemuka dan mendapat perhatian Rasulullah SAW pada abad ke-9 H, ketika beliau memerintahkan para sahabatnya untuk ikut serta dalam perang Tabuk (perang terakhir yang dilakukan Rasulullah). Pada masa ini turun surat at-Taubah ayat 29 yang secara jelas mengandung perintah untuk mengambil pembayaran jizyah sebagai dasar hukumnya:
''Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.''
Dalam makalahnya yang berjudul Jizyah dan 'Usyr Perekonomian Islam, Naili Rahmawati MAg, staf pengajar pada Fakultas Syariah UIN Mataram, memaparkan bahwa Islam telah menetapkan empat kelompok non-Muslim yang menjadi wajib pajak jizyah. Pertama, orang-orang Arab Musyrik, dalam hal ini, ulama sepakat untuk tidak mengambil atau menerima jizyah dari mereka, sebab bagi mereka hanya ada dua pilihan yaitu masuk Islam atau diperangi.
Kedua, orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai golongan ahlul kitab berdasarkan ketetapan Alquran sehingga dari kelompok ini diterima pengeluaran jizyahnya.
Ketiga, orang-orang Majusi dan Shabi'un dapat diterima jizyahnya berdasarkan kesepakatan sahabat, karena Rasulullah pun sendiri berdasarkan riwayat beberapa hadits pernah menerima dan mengambil jizyah dari kelompok ini.
Keempat, orang-orang non-Muslim lainnya seperti penyembah patung dan sebagainya tidak ada ketetapan yang pasti untuk pengambilannya, baik yang berasal dari Alquran maupun Hadis. Dalam hal ini, masalah penerimaannya adalah bersifat ijtihad, tergantung pada kemaslahatan dan pertimbangan pihak yang berwenang.
Akan tetapi, ketetapan pembayaran jizyah ini dalam ajaran Islam tidaklah diwajibkan secara keseluruhan. Jizyah pada awalnya dibebankan kepada setiap laki-laki yang telah baligh dan memiliki tanggung jawab (taklif) serta bukan seorang hamba sahaya. Adapun bagi kaum wanita, anak-anak, orang gila, hamba sahaya dan orang fakir dan orang-orang kafir dzimmi yang ikut berperang mempertahankan negara bersama kaum muslimin tidak dikenakan kewajiban membayar jizyah. Kewajiban ini juga akan menjadi gugur dengan sendirinya jika seorang kafir dzimmi masuk Islam.