REPUBLIKA.CO.ID, Muslimat NU merupakan organisasi perempuan yang hingga kini peranannya tetap terasa di masyarakat. Sejak lahir tahun 1926, Muslimat NU banyak melahirkan tokoh-tokoh penting yang berjasa bagi Indonesia. Salah satu tokoh yang dilahirkan dari Muslimat NU adalah Asmah Sjahrunie, perempuan kelahiran Rantau, Kalimantan Selatan, 28 Februari 1928. Asmah merupakan satu di antara banyak politisi perempuan pada generasi awal NU.
Jiwa aktivisnya sudah tampak sejak usianya masih muda. Ia selalu aktif dalam berbagai kegiatan-kegiat an sosial. Selain itu, Asmah kerap terlibat dalam dunia pendidikan sejak zaman Jepang mulai menjadi guru bantu di Futsu Tjo Gakko (setingkat SD bentukan Jepang) di Rantai I hingga menjadi wakil kepala Futsu Tjo Gakko di Rantau III. Aktivitasnya di dunia pendidikan terus berlanjut hingga pascakemerdekaan. Ia tercatat pernah membantu mengajar di Sekolah Rakyat VI, Ran tau III, Batu Kulur Kandangan, sampai Ulin Kandangan. Kegiatan mengajarnya berlangsung hingga 1954.
Asmah termasuk orang yang beruntung bisa mengenyam pendidikan. Pada waktu itu, perempuan masih sulit bisa menempuh pendidikan karena alasan bagi perempuan pendidikan tidak penting. Selain itu, pandangan bahwa akan menjadi aib jika seorang perempuan tidak cepat menikah. Berbeda dengan Asmah, ia mempunyai tekad besar untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah umum yang akhirnya mampu diwujudkannya. Hal tersebut berkat dukungan kakeknya sebagai tokoh masyarakat dan bibinya sebagai guru.
Selain belajar pendidikan umum, Asmah juga semangat belajar pendidikan agama. Karena itu, ia juga sering mengikuti pengajian-pengajian yang diselenggarakan oleh kiai NU. Dari aktivitas pengajian ini, ia mulai mengenal NU hingga kemudian menjadi tokoh di Muslimat NU.
Pada 1952, Asmah diangkat sebagai konsulat Muslimat NU di wilayah Kalimantan Selatan hingga 1956. Sejak itu, disebutkan bahwa Asmah mulai aktif ke dunia politik dan organi sasi dari dunia pendidikan. Asmah mulai dikenal di kalangan NU saat kongres Muslimat NU di Su rabaya pada 1954. Ia tidak hanya di kenal kalangan dari Kalimantan, tapi juga dari daerah lain seperti Jawa. Apalagi, topik utama yang dibahas pada waktu itu adalah persiapan pemilu yang akan digelar pada 1955.
Pada saat itu, ia dipilih sebagai panitia penyusunan calon anggota konstituante dan DPR untuk maju dalam pemilu mendatang. Muslimat NU menunjuknya sebagai wakil ketua. Lalu ia terpilih sebagai anggota DPR RI dari Kalimantan Selatan dan berangkat ke Jakarta.
Sejak berada di Jakarta, ia mulai berkiprah di Pengurus Pusat Muslimat NU. Pada kongres VII di Jakarta 1959 ia diberi kepercayaan untuk mengurusi bidang sosial di PP Muslimat NU. Kemudian duduk sebagai ketua II dalam susunan pengurus pusat Muslimat NU hasil kongres VIII di Solo tahun 1962 dan kongres IX di Surabaya pada 1967.
Pada 1979, tepatnya di kongres X di Semarang, ia terpilih sebagai ketua umum PP Muslimat NU. Kepemimpinan Asmah sebagai pucuk pimpinan Muslimat NU dinilai cukup sukses oleh ketua umum setelahnya. Asmah dinilai sebagai sosok pemberani, pintar, dan bijak.
Selain itu, ia dikenal sebagai pri badi yang memiliki rasa hormat kepada sahabatnya yang lebih tua dan mengayomi sahabatnya yang lebih muda. Ia juga terkenal mempunyai keberanian di dunia politik. Selama memimpin Muslimat NU, ia mempunyai tekad besar agar para perempuan juga mengambil peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia menekankan agar perempuan bangkit dari kebodohan.
Ia selalu memberikan contoh kiprah perempuan-perempuan di luar dalam perjuangan dan membangun bangsa seperti Benazir Butto sebagai perdana menteri Pakistan dan Presiden Filipina Cori Aquino. Semangat-semangat tersebut sangat terasa dalam pidato sambutannya pada kongres Muslimat XII NU di Yogyakarta.
Selain itu, ia selalu menekankan tentang pentingya organisasi perempuan sebagai wadah aspirasi kaum hawa untuk mewujudkan perjuangannya. Kekuatan dan kiprah dari Asmah ini selama menjabat sebagai ketua umum Muslimat NU membuat organisasi yang dipimpinnya mampu mengimbangi organisasi perempuan lainnya seperti Asiyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah dari Muhammadiyah, Wanita Serikat Islam dari Serikat Islam, dan Organisasi Peristri dari Persis.
Kehebatannya sebagai pemimpin membuat dirinya terpilih sebagai ketua umum Muslimat NU tiga periode secara berturut-turut, yaitu pada 1979, dalam kongres X di Semarang, tahun 1984 pada kongres XI di Probolinggo dan pada tahun 1989 pada kongres XII di Yogyakarta. Dari tiga periode kepemimpinannya tersebut, ia cukup berhasil membuat Muslimat maju dari tahun ke tahun. n a syalaby ichsan