REPUBLIKA.CO.ID Oleh: A Syalaby Ichsan
Make-up di wajah Delly Lubalu (35 tahun) masih tampak. Warga Desa Oesao, Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu baru saja menjalankan misa di Gereja Immanuel Oesao, Ahad (11/3). Ibadah pagi itu dijalankan selama dua jam dengan khidmat.
Selepas misa, Delly pulang agak tergesa. Dia hendak mengantar anaknya, Julio yang ingin ikut khitanan massal di dekat rumahnya. "Saya mau anak saya sehat setelah dikhitan," ujar Delly saat berbincang dengan Republika di Desa Oesao, Kupang Timur, NTT.
Julio hendak ikut khitanan massal yang diselenggarakan Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) Bali bekerja sama dengan BSMI NTT dan JNE. Khitanan massal ini berlangsung pada Sabtu-Ahad. Khitan pada Ahad itu diselenggarakan di rumah H Marmin, di Oesao. Sehari sebelumnya, kegiatan serupa dilakukan di SDIT al-Muttaqien, Kupang.
Umumnya, panitia memang berasal dari kalangan Muslim. Khitan merupakan sunah yang disyariatkan Rasulullah SAW. Meski demikian, hal tersebut tak dipermasalahkan Delly.
Buat Delly, adanya khitan massal tersebut justru menjadi bukti kerukunan dan toleransi yang ada di Pulau Timor. "Kami sudah rukun sejak lama," ujar dia.
Prosesi khitan sebenarnya juga sudah menjadi tradisi untuk beberapa suku di NTT. Jemaat Gereja Elim Naibona, Jublina Makdalfia (32 tahun) mengungkapkan, di So'e, kampung halamannya, praktik khitan juga terjadi. Hanya penyebutannya berbeda, orang-orang menyebutnya sebagai sifon.
Menurut Jublina, sunat tradisional itu menggunakan alat berupa bambu. Sepekan setelah disunat, orang yang dikhitan akan diminta untuk berhubungan intim dengan perempuan yang bukan istrinya. "Tapi, itu sekarang bisa pilih tidak," ujar dia.
Untuk menghindari praktik itu, Jubina pun mengantar anaknya untuk ikut khitan massal BSMI. Dia percaya dengan penanganan dokter dan paramedis dari BSMI, putranya akan dikhitan dengan sehat dan aman. Jublina ingin anaknya, Ram Ludji (11 tahun) memiliki alat reproduksi yang sehat.
Selain menghindari sifon, Jublina menjelaskan, dia tak perlu mengeluarkan uang sepeser pun agar anaknya mengikuti khitan. Jika sunat di kampung, biayanya mencapai Rp 300 ribu. Alih-alih membayar, Ram Ludji justru mendapat oleh-oleh berupa seperangkat tas dan sarung dari BSMI.
Jublina tak mempermasalahkan jika panitia berasal dari kalangan Muslim. Menurut Jublina, panitia sudah menyosialisasikan dari spanduk yang ada jika khitan ini gratis untuk umum. Dia pun mengaku sudah terbiasa berinteraksi dengan umat Islam sejak lama. \"Ini saya datang sama tetangga Muslim, \" jelas dia.
Imam Masjid Oesoe H Maslan Arsyad menjelaskan, khitan sesungguhnya meneruskan tradisi yang dibawa Nabi Ibrahim AS. Syariat tersebut, ujar dia, sesungguhnya berlaku untuk semua pemeluk agama samawi. Meski hanya umat Islam yang sampai sekarang meneruskan ibadah tersebut, dia mengungkap, umat beragama lain bisa juga mempraktikkannya.
Ketua BSMI Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Ruslan Kasim menegaskan, BSMI merupakan perhimpunan yang bergerak di bidang kemanusiaan. Aktivitas BSMI, ujar dia, tak pernah mengenal suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tertentu. Khitanan massal yang digelar kali ini pun bekerja sama dengan Gereja Masehi Injil Timor (GMIT). Pihak gereja justru yang mengumumkan adanya khitanan massal ini.
Ketua BSMI Bali Bambang Widjanarko menjelaskan, khitanan massal ini merupakan kegiatan kedua kali BSMI di NTT. "Pada Agustus 2017 lalu, kita juga melakukan khitanan massal di Kabupaten Timor Tengah Selatan," ujar Bambang di Kupang, Sabtu (10/3).
Bambang menjelaskan, pihaknya menargetkan 300 peserta yang akan mengikuti khitanan massal. Meski demikian, dia mengungkapkan, panitia sudah mengantisipasi adanya lonjakan jumlah peserta seperti yang terjadi pada tahun lalu.
Saat khitanan massal di So'e, Timor Tengah Selatan, ujar dia, terjadi penambahan 200 peserta.
Acara yang dijadwalkan selesai pada sore hari pun sempat molor hingga malam. "Karena itu, sekarang kita bawa obat lebih dan bekerja sama dengan dokter intensif," kata dia.
Menurut Bambang, tingginya antusiasme masyarakat terhadap khitanan massal karena semakin besarnya tingkat kesadaran reproduksi di Kupang. Bahkan, ujar Bambang, masyarakat Nasrani juga berbondong-bondong untuk mengikuti khitanan massal.
sesuai standar kesehatan. Menurut dia, masih ada warga asli yang punya tradisi bersunat dengan bambu. Setelah disunat, mereka diminta untuk berhubungan intim dengan perempuan selain istrinya. "Ini berbahaya, makanya kita ingin edukasi.’’ (Pengolah: wachidah handasah).