REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Islam memberi perhatian yang sangat besar secara khusus terhadap bersuci (thaharah). Ia bahkan menjadi syarat utama sebelum melakukan berbagai aktivitas ibadah tertentu seperti shalat yang dikerjakan sehari-hari.
Bersuci merupakan perintah agama yang lebih tinggi dari sekadar bersih-bersih. Sebab, tak setiap yang sudah bersih itu suci.
Thaharah terbagi menjadi dua, yakni bersuci dari najis dan bersuci dari hadats yang dilakukan dengan wudhu (untuk hadats kecil) dan mandi (untuk hadats besar) atau tayamum dalam kondisi tak ada air.
Namun demikian, meski sudah diatur sedemikian rupa, tidak sedikit kaum Muslim yang masih bermasalah dan belum memahami pentingnya thaharah (bersuci) dan melaksanakannya dengan benar, sesuai tuntunan syariat.
Demikian antara lain disampaikan Tgk H Adnan Ali SPdI, sekretaris Dewan Kemakmuran Masjid Aceh (DKMA) Kota Banda Aceh, saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (7/3) malam.
"Bersuci dari najis/kotoran dan hadats merupakan syarat sahnya ibadah khususnya shalat kita, karena itu harus diperhatikan. Namun menyingkirkan najis ini jangan asal-asalan, tapi harus didasari dengan ilmu dari Alquran dan Sunnah," ujar Tgk Adnan dalam rilis KWPSI yang diterima Republika.co.id, Jumat (9/3).
Dijelaskannya, thaharah merupakan masalah penting dalam agama dan merupakan pangkal pokok dari ibadah yang menjadi peyongsong bagi manusia dalam menghubungkan diri dengan Allah saat beribadah.
Hal itu ditegaskan Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 222 yang artinya: "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri".
Selain itu, thaharah juga merupakan salah satu syarat sahnya ibadah shalat. Hal ini sesuai dengan Hadits Rasulullah yang artinya : "Allah tidak menerima shalat yang tidak dengan bersuci".
"Karenanya, jangan sampai ibadah shalat yang kita kerjakan selama ini menjadi sia-sia karena akibat dari bersuci asal-asalan. Coba kita periksa lagi diri kita masing-masing soal bersuci dari najis dan hadats lewat mandi wajib (junub) dan wudhu," ujar Tgk Adnan yang sehari-hari menjadi penyuluh agama pada Kanwil Kemenag Aceh.
Ia menjelaskan, thaharah haqiqi, yaitu suci pakaian, badan, dan tempat shalat dari najis ataupun thaharah hukmi, yaitu suci anggota wudhu dari hadats, dan suci seluruh anggota zahir dari junub sebab ia menjadi syarat yang tetap bagi sahnya shalat.
"Meskipun hadats dan junub bukanlah najis yang dapat dilihat, tetapi ia tetap merupakan najis yang menyebabkan tempat yang terkena olehnya menjadi kotor. Karenanya, untuk menyucikannya, maka perlu mandi," terang Tgk Adnan yang juga pengurus Masjid Al-Furqan Beurawe.
Ditambahkannya, mandi junub ini adalah termasuk dari perkara syarat sahnya shalat seseorang. “Sehingga, bila kita tidak mengerjakannya dengan cara yang benar maka mandi junub kita itu tidak dianggap sah. Ini artinya, kita masih belum lepas dari hadats besar,” tuturnya.
“Akibatnya shalat kita dianggap tidak sah bila kita menunaikannya dalam keadaan belum bersih dari hadats besar dan kecil. Sedangkan mandi junub yang benar itu ialah mandi junub yang dilakukan dengan mengamalkan car-cara mandi junub yang diajarkan oleh Rasulullah,” ujarnya menambahkan.
Karena menunaikan mandi junub itu adalah termasuk ibadah kepada Allah, maka di samping harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah semata, juga harus pula dilaksanakan dengan cara dituntunkan oleh Rasulullah
"Niatnya mandi wajib haruslah benar. Kita juga harus meratakan air ketika mandi janabat ke seluruh tubuh dengan penuh kehati-hatian sehingga dilakukan penyiraman air ke tubuh kita itu berkali-kali, hingga kita yakin rata. Termasuk ke lubang anus harus masuk air dengan cara sedikit mengedan, jika air tidak masuk ke tempat pertemuan lubang pembuangan, maka tidak sah mandi junub kita, makanya harus hati-hati dan jangan sembarangan," tegasnya.
Pada kesempatan pengajian KWPSI tersebut, Tgk Adnan Ali juga menyampaikan beberapa hal penting dalam pelaksanaan shalat berjamaah, terutama bagi makmum yang mengikuti imam, haruslah punya ilmu yang cukup.
"Makmum itu juga harus punya ilmu ketika ikut imam. Makmum itu terbagi tiga, yaitu makmum masbuq (makmum yang ketinggalan rakaat akibat bacaan), makmum muwafiq (makmum yang bertepatan) dan makmum uzur (ketinggalan karena gerakan)," sebutnya.