REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak berbeda dari pasien di rumah sakit pada masa kini, para pasien bimaristan juga memiliki kartu sendiri. Di kartu itulah, dokter dapat mencatat riwayat medis si pasien. Pada saat yang sama, dokter juga memiliki buku tersendiri untuk mencatat hasil observasinya terhadap penyakit yang ditangani.
Jika suatu kali dokter mengalami masalah atau kesulitan dalam menegakkan diagnosis, ia akan menemui kepala divisi atau dokter kepala. Seperti dokter pada masa kini, dokter pada masa itu pun kerap mengadakan pertemuan dengan rekan-rekan sejawatnya untuk membahas kasus-kasus medis tertentu.
Tak hanya di Baghdad, bimaristan juga dibangun di Kairo, Mesir, pada 1248. Rumah sakit yang memiliki 8.000 tempat tidur dan berbagai bangsal khusus ini bernama Al-Mansouri. Fasilitas kesehatan yang besar ini memiliki ruangan khusus untuk beribadah. Ada tempat ibadah untuk pasien dan pengunjung Muslim, ada pula tempat ibadah untuk kaum Kristiani. Semua pasien diterima dan dirawat dengan baik di rumah sakit ini tanpa memandang ras, warna kulit, dan agama.
Tidak ada pula batas waktu untuk menjalani rawat inap. Artinya, pasien akan dirawat sampai mereka sembuh sepenuhnya. Uniknya, terkadang pasien dinyatakan sembuh jika sudah bisa memakan ayam utuh. Setelah sembuh, pasien diberi satu set pakaian baru dan uang saku.
Para dokter di bimaristan bekerja dengan menggunakan sistem shift. Sebagian bekerja di pagi hari dan lainnya di malam hari. Sistem ini bertujuan agar dokter punya cukup waktu untuk beristirahat.
Al-Maqrizi, ahli sejarah Mesir, menyebutkan dalam bukunya bahwa ketika pasien dirawat di rumah sakit, maka pakaian dan uang mereka dititipkan ke bagian keamanan. Pasien kemudian mendapatkan pakaian bersih, obat-obatan, dan makanan di bawah pengawasan dokter sampai mereka sembuh.
Ibnu Al-Ukhwah dalam bukunya Al-Hisbah menceritakan proses ketika seorang pasien mengunjungi dokter di klinik rawat jalan. Awalnya, tulis Al-Ukhwah, dokter menanyakan keluhan pasien. Sang dokter kemudian memeriksa kondisi pasien dan menyiapkan obat. Tak lupa, ia membuat salinan resep dan memberikannya kepada orang yang mendampingi si pasien. Setelah beberapa hari, dia memeriksa ulang pasien, memeriksa obat yang sudah diberikan, dan menanyakan apa yang pasien rasakan. Setelah itu, dokter memberi saran-saran kepada pasien.
Prosedur ini diulang setiap hari sampai pasien sembuh atau sebaliknya, meninggal. Jika pasien sembuh, kata Al-Ukhwah, dokter akan dibayar. Jika pasien meninggal, keluarga pasien akan mendatangi dokter kepala dan memeriksa resep yang ditulis oleh dokter tersebut.
Jika dokter kepala memutuskan bahwa dokter tidak melakukan kelalaian, maka ia mengatakan kepada pihak keluarga bahwa hal itu adalah kematian yang wajar. Jika ia menilai sebaliknya, dokter kepala akan memberi tahu mereka untuk mengambil uang dari dokter tadi karena kematian tersebut terjadi akibat performa buruk dan kelalaian sang dokter.
“Sistem seperti ini akan memastikan bahwa pasien diobati dan dirawat oleh orang yang benar-benar terlatih dan berpengalaman.”