Senin 05 Mar 2018 16:24 WIB

Nostalgia Rasa di Gaza

Gaza memiliki variasi makanan yang cukup banyak.

Warga Gaza menikmati kebersamaan di tepi pantai Jalur Gaza.
Foto: Reuters/Suhaib Salem
Warga Gaza menikmati kebersamaan di tepi pantai Jalur Gaza.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekitar sembilan mil dari pantai Gaza, ada cekungan besar di laut yang sering dilalui ikan migrasi dari Delta Nil dan Laut Aegea. Namun, tentara Israel membatasi gerak nelayan Gaza hanya sampai tiga mil dari pantai.

Meski perikanan budi daya air tawar cukup bisa menutup kebutuhan konsumsi ikan laut, warga Gaza tetap saja rindu de ngan makanan dari laut yang telah mereka makan selama beabad-abad, seperti mullet merah, sardin, kakap, kepiting, udang, dan kerang-kerangan. Ikan-ikan besar umum nya dibakar, sementara ikan kecil digoreng. Ikan seperti sardin lebih umum dipanggang dalam oven dengan bumbu rempah atau dihancurkan, kemudian diberi bumbu menjadi kofta ikan.

Gaza memiliki variasi makanan yang cukup banyak. Warga Gaza yang tumbuh dari keluarga yang tinggal di daerah ber basis perkebunan punya cita rasa berbeda dengan mereka yang lebih dekat ke pantai. Memori masa lalu tentu saja juga ber pe ran terhadap makanan. Di tengah musim di ngin, warga di pedesaan biasanya mem bu at rebusan dengan bahan-bahan se der hana dan tak mahal. Sementara, saat mu sim liburan, warga Gaza selatan biasa nya mem buat sup chard dan daging yang di bumbui tahini merah dan rempah-rem pah.

Makanan yang cukup terkenal lainnya adalah fogaiyya. Makanan ini berbahan dasar potongan kecil daging sapi atau kambing yang dicampur chard, beras, dan kacang arab yang diguyur air lemon dan bawang putih goreng. Ada pula ru ma niyya, makanan musim panas yang terbuat dari terung dan kacang lentil yang dimasak de ngan air biji delima dan dikentalkan de ngan tahini.

Warga di pedesaan Gaza juga memiliki ru pa-rupa makanan yang terbuat dari tum buhan liar, antara lain, hamasees, yakni tumbuhan hijau liar berasa masam yang dimasak dengan kacang lentil. Ada pula khobayza, yakni mallow yang dimasak de ngan pangsit kecil. Juga rijla atau baqla, yakni sejenis sukulen yang dilalap atau dimasak bersama tomat dan kacang arab.

Bagi sebagian orang di Gaza, rijla meng ingatkan mereka pada eksodus besar pada tahun 1948. Karena mudah ditemu kan di semak-semak tempat mereka ber sembunyi, rijla menjadi santapan mereka. Ma kanan sederhana itu terasa begitu ber harga kala itu. Bicara makanan, warga Gaza akan bicara makanan sebelum 1948.

Karena setelah itu, makanan yang lazim dikonsumsi warga Gaza adalah makanan yang disediakan PBB, yakni tepung, kadang-kacangan, gula, garam, dan susu bubuk. Hal itu memaksa warga Gaza ber kreasi dengan segala keterbatasan. Bagi mereka yang lama hidup di pengungsian di Gaza, makanan pada masa mereka masih tinggal bersama orang tua atau kakek nenek, kini tak banyak tersedia karena harganya melangit. Anak-anak muda saat ini juga tak begitu kenal dengan makanan khas Gaza yang dulu.

Misalnya saja, kishik, roti kering dari cam puran biji-bijian yang dihancurkan, dicampur yogurt, lalu dikeringkan di ba wah sinar matahari. Sebelum lemari es di kenal di Timur Tengah dan Asia tengah, kishik adalah cara tradisional memperta han kan nutrisi susu dengan fermentasi dan mengeringkannya. Kishik tahan lama. Pada musim dingin, kishik yang dicampur air akan menjadi bahan dasar sup dengan campuran daging, kacang, dan nasi.

Di Gaza selatan, kishik dibuat dari te pung dan dibumbui adas serta cabai bubuk. Setelah dikeringkan, kishik disobek-sobek dan dicampur tomat yang telah dipanggang dan dicampur bawang putih serta adas. Cara lain menikmati kishik adalah dihan curkan, lalu dicampur minyak zaitun, air jeruk lemon, dan biji adas, kemudian dima kan bersama salad sayuran.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement