REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pada satu waktu, Rasulullah SAW pergi menuju Bani Amr bin Auf untuk menda maikan mereka yang tengah bersengketa. Semasa kepergian Nabi, tiba waktu shalat. Muazin pun mendatangi Abu Bakar as- Shiddiq untuk bertanya kepadanya. "Apakah engkau akan memimpin shalat orangorang agar aku dapat melantunkan iqa mat?" Abu Bakar menjawab, "Ya."
Abu Bakar melaksanakan shalat sebagai imam. Setelah shalat itu dimulai, Rasulullah SAW datang ketika shalat berjamaah itu dimulai. Nabi yang mulia lantas beranjak sampai berdiri di dalam shaf. Melihat ada Rasulullah, jamaah shalat ber tepuk. Hanya, Abu Bakar tidak menoleh dalam shalatnya, meski orang-orang semakin ramai bertepuk.
Abu Bakar menoleh dan melihat Rasulullah SAW memberi isyarat. Dia menunjukkan: Tetaplah di tempatmu! Abu Bakar kemudian mengangkat tangannya memuji Allah atas apa yang diperintahkan Rasulullah kepadanya. Abu Bakar mundur dan Rasulullah kemudian maju untuk memimpin orang-orang shalat.
Selesai shalat, Rasulullah bersabda, "Wahai Abu Bakar, apakah gerangan yang menghalangimu untuk tetap di tempatmu ketika aku perintahkan itu kepadamu?" Abu Bakar menjawab, "Tidaklah boleh Ibnu Abu Quhafah untuk melaksanakan shalat di hadapan Rasulullah SAW."
Rasulullah lalu bersabda, "Mengapa aku melihat banyak dari kalian yang ber tepuk tangan untuk mengingatkan sesuatu dalam shalatnya? Hendaklah bertasbih karena jika bertasbih maka dia (imam) akan menoleh kepadamu. Sesungguhnya, tepukan untuk wanita."
Imam merupakan sosok penting dalam kesuksesan shalat berjamaah. Seorang Mus lim yang memiliki pengetahuan mengenai fikih shalat dan bacaan Alquran baik kerap menjadi pilihan dalam memim pin shalat. Bagaimana seorang imam bisa ditunjuk dalam memimpin shalat?
Imam Syafii dalam Kitab Al-Umm berkata, sah bagi seseorang untuk meminta orang lain maju atau maju sendiri untuk memimpin shalat suatu kaum tanpa perintah dari wali (pemimpin) mereka yang biasa memimpin shalat. Ketentuan ini ber laku baik untuk shalat Jumat, shalat wajib atau shalat sunah.
Menurut imam yang bernama asli Abu Abdillah Muhammad bin Idris as-Syafii ini, penguasa adalah orang yang paling berhak memimpin shalat di wilayah kekua saannya. Namun, kalau seorang wali me nunjuk seseorang sebagai imam maka hal itu diperbolehkan. Imam Syafii beralasan, orang yang ditunjuk memimpin shalat atas mandat dari wali.
Meski menjadi penguasa daerah, ada kalanya wali tersebut berada di bawah ke kuasaan seorang khalifah. Dalam konteks saat ini, bisa dianalogikan sebagai camat dengan bupati, bupati dengan gubernur atau gubernur dengan presiden. Dengan de mikian, khalifah atau presiden yang pa ling berhak menjadi imam. Hanya, jika wa li atau khalifah bepergian ke luar negeri, dia menjadi sama dengan orang keba nyakan.