REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gaya hidup boros memang kerap menyisakan masalah. Pendapatan yang tak seberapa mesti dipaksakan untuk menuruti pengeluaran yang luar biasa.
Ironisnya, sering kali pembelajaan tersebut diperuntukkan alokasi yang tidak urgen. Pola hidup ini pun telah merajai hampir seluruh lapisan masyarakat. Tidak hanya di level individual, tetapi juga kolegial yang berkorelasi dengan institusi.
Syekh Dr Abdullah bin Ibrahim ath-Thariqi mencoba menganalisis fenomena itu melalui bukunya yang berjudul Musykilat as-Saraf fi al-Mujtama’ al-Muslim wa ‘Ilajuha fi Dhau’ al-Islam. Tinjauan akademisnya itu sangat komprehensif.
Pola hidup boros dikaji dari berbagai aspeknya. Mulai dari definisi, klasifikasi, dampak boros, kriteria boros, dan tak ketinggalan soal solusi bagaimana mengikis gaya dan pola hidup boros.
Aksi berboros ria, menurutnya, bila tak segera diatasi maka akan berdampak domino. Bukan hanya pada diri orang yang bersangkutan, melainkan juga membawa efek bagi lingkungan sekitar.
Kisah Qarun cukup menjadi pelajaran penting. Dengan bergelimang harta, Qarun lupa akan segalanya dan menghambur-hamburkan kekayaannya dan bukan untuk tujuan beribadah.
Sebagai hukuman Allah SWT membinasakan Qarun beserta harta yang ia elu-elukan. “Maka, Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka, tidak ada baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan, tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS al-Qashash [28]: 81).
Sikap boros berakibat pula pada stabilitas kejiwaan dan kepekaan spiritual seseorang. Bergaya hidup boros akan mudah melalaikannya dari perkara hak dan mudah terjerembab mengikuti hawa nafsu.
Ibnu al-Qayyim menegaskan, hedonisme akan melumpuhkan langkah menuju Allah dan hari akhir. Maka, jangan biarkan sifat boros menghalangi langkah tersebut sedikit pun. Abdullah bin al-Mubarak pernah bersenandung, “Kulihat dosa bakal mematikan hati dan boros akan mencandukannya.”
Di level sosial, boros juga berdampak fatal. Bergaya hidup mewah dan menghambur-hamburkan harta untuk keperluan yang tidak urgen dan mendasar, akan menyisakan kecemburan sosial akut. Maka, muncullah paradoks dan ketimpangan. Di sudut sana, para dhuafa memeras keringat dan membanting tulang mencari sesuap nasi.
Pada saat yang sama, ratusan ribu bahkan jutaan rupiah digelontorkan demi keperluan sepele. Spirit menghindari kecemburuan sosial itu pula yang tertuang di ayat 9 dan 10 surah ad-Dhuha. “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan, terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.”