REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Semasa Rasul hidup, gairah menghafal Alquran di kalangan sahabat sangatlah tinggi. Tak terkecuali para pemuda. Ada sederet nama kawula muda ketika itu yang menghafal Alquran, seperti Amar bin Salamah, al-Barra' bin 'Azib, dan Zaid bin Haritsah.
Sahabat Zaid bin Tsabit yang berusia belia saat itu bahkan masuk ke dalam daftar sahabat pencatat wahyu. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Zaid dilibatkan pula dalam kodifikasi Alquran.
Akan tetapi, terdapat poin penting yang mesti ditekankan oleh para penghafal Alquran. Mereka mesti mengikuti sejumlah aturan dan etika agar proses menghafal mendapatkan keberkahan dari-Nya. Syekh Qahthan Birqadar memaparkan sejumlah fondasi dasar yang harus diperkokoh oleh para penghafal Alquran.
Paling utama ialah meluruskan niat. Jadikan motivasi satu-satunya menghafal Alquran, yakni mendapatkan keridhaan-Nya. Bukan berorientasi pada ketenaran, popularitas, yang berkelindan dengan melimpah ruahnya materi.
“Niat duniawi tak akan berbuah manis,” tulisnya. Lihatlah, kisah yang tertuang di hadis riwayat Muslim. Mereka yang belajar dan mengajarkan Kitab Samawi itu harus menerima siksa lantaran tujuannya hanya ingin dielu-elukan manusia.
Syekh Qahthan mengingatkan agar menyempurnakan proyek hafalan itu dengan praktik dan pengalaman Alquran. Amalkan ajaran, nilai, dan etika yang terkandung di dalamnya. Jadilah hafiz yang pionir dan selalu terdepan soal akhlak dan moralitas. Tetap tawadhu dan tidak sombong di hadapan orang lain. Ingatlah, Alquran akan menjadi saksi kita kelak di akhirat.
“Alquran adalah saksi atas kebaikan atau keburukanmu,” sabda Rasul dalam hadis Muslim.
Dan, tetaplah konsisten mengulang-ulang hafalan (muraja'ah). Ini agar anugerah berupa hafalan yang diberikan oleh Allah tidak sirna begitu saja. Proses mengulang dan menjaga hafalan justru lebih berat dibandingkan menghafal. Sebuah hadis riwayat Bukhari Muslim menyatakan hal itu. Rasul pernah menyerukan agar tetap menjaga hafalan Alquran. “Memelihara hafalan lebih berat ketimbang mengikat seekor unta,” titah Nabi.
Ada banyak media yang bisa dilakukan untuk proses muraja'ah. Mulai dari menjadi imam shalat, mendengarkan tilawah melalui MP3, saling bertukar bacaan, dan sebagainya. Tentu, ini akan lebih utama dan ditekankan dengan bimbingan guru yang berkompeten.