Kamis 08 Feb 2018 16:26 WIB

Selektif Terhadap Media Massa

Kehadiran media massa sebagai produk peradaban abad 21 itu dirasakan manfaatnya.

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Media massa(ilustrasi)
Foto: [ist]
Media massa(ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ibarat pisau, media massa dengan ketajaman yang dimiliki mempunyai dua sisi yang berbeda, positif sekaligus negatif. Pisau sangat membantu untuk menunjang hajat hidup orang banyak. Di tangan juru masak andal, pisau adalah piranti utama memasak.

Tanpanya, akan menghadapi banyak kesulitan. Di saat yang sama, pisau menjadi senjata mengerikan di tangan para pelaku kejahatan. Demikian cendekiawan Muslim Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya Hukm al-Islam fi Wasail al-I’lam memersonifikasikan urgensi peran media.

Kehadiran media massa sebagai produk peradaban abad 21 itu memang sangat dirasakan manfaatnya. Media membantu memberikan informasi tentang segala hal yang diperlukan. Media massa menghubungkan lintas komunitas di belahan dunia.

Peran sebagai alat informasi dan edukasi itu memang tak bisa dinafikan. Seiring perkebanganya, industri makro media yang didomoniasi oleh non-Muslim itu dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi tradisi dan nilai-nilai Islam.

Ini karena industri media yang dikuasai oleh mereka cenderung mempropagandakan nilai atau tradisi yang berseberangan. “Jika ini tak segera ditanggapi maka akan merusak generasi ke depan,” tulisnya cemas.

Para ulama sepakat, mereka tak mempersoalkan industri media yang mengedapankan hal-hal positif bagi masyarakat. Sebaliknya, mereka mengecam bila media massa justru menebarkan virus negatif ke umat. Kewajiban dalam agama ialah menjaga lima hak asasi Muslim, yaitu agama, akal, kehormatan, harta, jiwa, dan keturunan.

Tayangan-tayangan di televisi dan berita-berita yang mengangkat soal kekerasan atau mengundang birahi, misalnya, dinilai sebagai salah satu alasan larangan mengonsumsi media massa. Agak susah memang untuk menyeleksi program-program atau tayangan yang pro terhadap generasi saat ini. “Nyaris mustahil,” ungkapnya.

Sekalipun program yang disiarkan sangat positif, iklan-iklan yang disajikan justru kontraproduktif. Ia menyarankan, penguatan keluarga untuk membentangi buah hati. “Temani dan berikan pencerahan ke anak,” katanya.

Di level pemerintah di negara-negara Islam, penting agar memberlakukan regulasi untuk menyaring tontonan yang tidak bermartabat.

Guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Kairo Mesir Prof Fatimah az-Zahra’ Ahmad menegaskan hal yang sama, yaitu optimalisasi peran dan fungsi keluarga untuk upaya “putihisasi media”. Dalam kondisi seperti saat ini, ia mengakui, sulit untuk mengasingkan diri dari serangan media massa. Dengan melibatkan keluarga, dapat melindungi buah hati dengan cara memberikan pencerahan dan penanaman nilai-nilai transendental.

Menurut Fatimah, di tengah-tengah gegap-gempita tontonan tak layak di media massa, sebetulnya ini justru menjadi tantangan bagi dunia Islam untuk menghadirkan media alternatif. Tentunya, sebuah media yang menawarkan edukasi Islami dengan kemasan yang menarik dan tak membosankan. Inovasi media di kalangan internal umat Islam diharapkan mampu mendorong persaingan yang sehat dalam industri media.  

Fatimah mendorong pula peran cendekiawan Muslim untuk berkonstribusi memberikan pemikiran tentang program-program pilihan. Ini karena potensi dakwah yang diemban oleh media massa cukup besar. Media massa adalah alat jitu untuk mempromosikan Islam kepada dunia luar. Di saat bersamaan, media juga tepat untuk mengajak dan mendakwahkan kebaikan bagi segenap Muslim.

Minimal, di tingkat domestik masing-masing negara. Ia mengapresiasi munculnya stasiun televisi, radio, ataupun media cetak dan online yang menawarkan solusi dengan program-program alternatif. “Prestasi luar biasa yang harus terus dikembangkan,” tuturnya.   

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement