Kamis 08 Feb 2018 10:45 WIB

Napas Islam di Pedalaman Papua

Mayorita umat Katolik di daerah ini sadar umat Islam pun berhak jalankan ibadahnya.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengunjungi salah satu mushalah di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).
Foto: Republika/Muhyiddin
Relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengunjungi salah satu mushalah di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).

REPUBLIKA.CO.ID, Kabupaten Asmat di Papua tengah menjadi sorotan di Indonesia setelah kasus kejadian luar biasa (KLB) wabah campak dan gizi buruk mencuat. Namun, saat ini, status KLB wabah campak itu sudah dicabut oleh pemerintah Kabupaten Asmat.

Kendati demikian, bukan berarti masyarakat Papua terbebas dari ancaman penyakit. Pemerintah dan lembaga kemanusiaan masih sangat diharapkan bantuannya untuk memberdayakan daerah ini, sehingga kasus KLB tak terulang lagi.

Pusat pemerintahan Kabupaten Asmat terletak di Distrik Agats. Saat berkunjung ke distrik atau kecamatan ini, Republika.co.id langsung mendengar suara azan. Sungguh tak disangka di pedalaman Papua ini juga terdapat masjid yang mengumandangkan adzan.

Masjid ini terletak tak jauh dari pelabuhan Agats, tepatnya di Jalan Sultan Hassanudin. Di depan masjid ini terpampang tulisan Masjid An-Nur. Setelah ditelusuri lebih dalam, ternyata masjid ini juga menjadi sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI).

photo
Anak-anak Asmat saat kunjungan relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).

Dengan adanya KLB campak dan gizi buruk, salah satu ruangan di masjid ini juga dijadikan base camp relawan dari Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Berdasarkan pantauan Republika.co.id pada Rabu (7/2) pagi, sekitar empat relawan Baznas tampak sedang membaca Alquran di ruangan tersebut.

Masjid ini merupakan pusat dakwah umat Islam di Kabupaten Asmat . Salah satu relawan Baznas, Hajri mengatakan, cukup banyak umat Islam yang shalat berjamaah di Masjid An-Nur, khususnya setelah adanya kasus KLB di Asmat.

"Kemarin Maghrib saja ada enam sampai tujuh shaf yang shalat berjamaah, sedangkan subuh ada sekitar tiga shaf," ujar Hajri saat ditemui Republika.co.id, Rabu (7/2).

Di Masjid An Nur juga terdapat Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LTPQ) untuk mengajari anak-anak membaca Alquran. Tidak hanya itu, masjid ini juga mempunyai kelompok pengajian bernama Pengajian Al Hidayah yang rata-rata diikuti mualaf.

"Kegiatan TPQ biasanya setiap sore dan diikuti 40 anak, kalau pengajian biasanya habis maghrib," ucap Hajri.

Ia menjelaskan, Baznas hadir di Asmat dalam rangka mengadakan program untuk membantu masyarakat yang terkena dampak wabah campak dan gizi buruk. Ada 15 relawan yang dikirim Baznas ke Asmat, tiga orang perempuan sisanya laki-laki.

Umat Islam yang tinggal di Asmat bebas untuk melaksanakan ibadah lima waktu. Pengeras suara tidak dilarang di daerah ini. Tidak hanya itu, di pasar juga banyak umat Islam yang bebas berdagang. Hal ini terlihat dari jilbab yang dipakai para pedagang muslim.

Salah seorang tokoh masyarakat Asmat, Norbertus Kamona mengatakan, toleransi antar umat beragama di Asmat sangat tinggi. Menurut dia, umat Katolik yang menjadi mayoritas di daerah ini juga sadar bahwa umat Islam berhak melaksanakan ibadahnya dan dijamin oleh undang-undang dasar.

Bahkan, lanjut dia, saat perayaan Hari Raya Idul Fitri, umat Islam juga kerap dibantu oleh umat Katolik. Begitupun sebaliknya. "Sampai dengan hari ini tetap kalau ada namanya takbiran yang bikin takbiran itu kita. Kemudian yang kerja kita orang kristen. Kehidupan beragama di sini luar biasa dan umumnya di Papua," kata Norbertinus.

Menurut dia, orang kristen juga tidak terganggu dengan azan yang dikumandangkan melalui pengeras suara oleh umat Islam. Walaupun barang kali ada yang risih, tidak akan diungkapkan. "Mungkin sih ada yang di dalam hati, tapi kita di sini tidak diungkapkan," ujarnya.

Ia mengatakan,  tahun ini juga akan diselenggarakan pemilihan daerah. Namun, kata dia, masyarakat Asmat tidak akan melihat sosok pemimpin berdasarkan agamanya. Bahkan, ia sendiri mengaku pernah mengusung tokoh Muslim dalam pemilihan sebelumnya yang bernama Haji Albar.

Ia sekali lagi menegaskan, keragaman di Kabupaten Asmat sangat terjaga. Bahkan, menurut dia, hampir tidak ada masalah yang berkaitan dengan keberagamaan. "Yang agama Islam kan ada sekitar 80-an orang, yang lain itu mereka kan mendukung untuk membantu mereka untuk apa. Jadi, masalah kehidupan beragama di sini tidak ada," jelas Norbertus.

Sementara itu, Wakil Bupati Asmat, Thomas E. Safanpo menjelaskan, setidaknya ada dua buah masjid yang ada di Kabupaten Asmat. Namun, menurut dia, untuk Masjid An-Nur dibangun dari tanah yang dihibahkan oleh kakeknya.

"Tanah masjid itu tanah dari kakek saya. Itu dibangun sekitar tahun 1972," saat berbincang dengan Republika.co.id di pelabuhan Distrik Agats.

Thomas pun menegaskan, kehidupan umat beragama di Kabupaten Asmat sangat rukun. Karena itu, masyarakat Asmat akan mampu menjaga NKRI. "Kalau kalian mau lihat NKRI yang sesungguhnya ada di Papua. Di sini keberagaman NKRI final," jelasnya.

Mengabdi di pedalaman

Selain menjelajahi Distrik Agats, Rabu (7/2) siang, saya juga berkesempatan masuk ke pedalaman Asmat lainnya yang keadaan masyarakatnya lebih mengenaskan lagi, tepatnya di Kampung Yausakor, Distrik Siret. Saya naik kapal milik Dinas Perhubungan setempat bersama sejumlah relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang datang dari Jakarta.

 

photo
Warga Asmat saat diberikan bimbingan kesehatan oleh relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kampung Yausakor, Distrik Siret, Kabupaten Asmat, Rabu (7/2).

Untuk sampai di kampung ini, kapal harus menyusuri sungai panjang yang menurut salah satu penduduk lokal, di pinggir sungai itu terdapat banyak buaya yang mengintai.

"Biasanya kalau air lagi surut, buaya-buaya itu ada di pinggir sungai tidur," ujar salah satu awak kapal, Doni.

Bukan sembarang sungai, sungai yang kami lewati ini juga bercabang-cabang. Karena itu, beberapa kali Doni harus bertanya ke penduduk lokal yang lewat menggunakan speed boot atau pun pada nelayan yang memancing ikan. Lalu, mereka pun menunjukkan keberadaan Kampung Yasakor.

Setelah empat jam berlayar, saya bersama relawan ACT akhirnya sampai juga di Kampung Yausakor. Kami pun di sambut anak-anak kecil Papua sambil melambaikan tangan dan kapal pun bersandar di pelabuhan kecil.

Tak jauh dari tempat kapal kami bersandar, tampak sebuah Puskesmas kecil. Pukesmas ini memiliki 26 tenaga kesehatan yang terdiri dari perawat, bidan, dan ahli gizi. Namun, tidak ada dokter di Puskesmas Yausakor, sehingga anak-anak yang menderita penyakit parah harus dirujuk ke rumah sakit yang ada di Distrik Agats, pusat pemerintahan Kabupaten Asmat.

Berdasarkan keterangan salah satu perawat, Devi Dewiana, masyarakat kampung ini kebanyakan non Muslim. Penduduk Muslim yang tinggal di kampung ini hanya enam orang, empat perempuan dan dua laki-laki. "Yang Muslim hanya kami-kami ini saja enam orang," kata Devi.

Namun, sayangnya di kampung ini tidak terdapat sebuah masjid. Karena itu, untuk melaksanakan shalat Jumat, laki-laki Muslim harus naik kapal ke masjid yang ada di kampung tetangga.

Devi sudah mengabdi di pedalaman ini kurang lebih satu tahun. Perempuan berjilban ini sudah banyak membantu anak-anak Papua yang sakit, sehingga ia pun juga dihargai masyarakat. Bahkan, perawat asal Makassar ini juga bebas melaksanakan ibadahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement