REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Berkenaan dengan jalur masuknya Islam ke Papua. Menurut para informan, Islam masuk ke Papua pada sekitar abad ke-16 atau abad ke-17 melalui tiga jalur utama. Yakni Kesultanan Tidore, Raja Ampat, dan Kepulauan Seram.
Jalur Kesultanan Tidore
Kehadiran Islam di Papua merupakan bagian dari ekpansi Kesultanan Tidore. Sebagaimana telah dijelaskan oleh para narasumber, faktor penting yang memungkinkan Islam masuk ke Papua khususnya Sorong, Raja Ampat, Bintuni, Fak-Fak, dan Patipi adalah Kesultanan Tidore.
Dipercayai bahwa Kesultanan Tidore sebenarnya telah hadir di Papua jauh sebelum kolonial datang. Para narasumber juga mengatakan bahwa masuknya misionaris ke wilayah pedalaman Papua di antar oleh jaringan Kesultanan Tidore.
Menurut Andaya orang-orang Papua mengasosiasikan Tidore dengan Islam. Hal ini digambarkan melalui suatu peristiwa di tahun 1705, saat Raja Jogugu dan Kapiten Laut Salawati dan Waigeo menerima utusan Sultan Tidore, semua yang hadir mengucapkan "Amin" ketika utusan itu selesai membaca surat Sultan Tidore. Dengan kata lain, orang-orang Papua menghormati Sultan Tidore sama seperti penyebutan nama Allah dalam Alquran meskipun yang hadir hanya fisik suratnya.
Jalur Raja Ampat
Kepulauan Raja Ampat adalah kepulauan pegunungan yang terletak antara Maluku Utara dan daratan utama Papua Barat. Menurut legenda asal-usul, kerajaan-kerajaan Raja Ampat diperintah oleh empat raja, yaitu Raja Salawati, Raja Waigeo, Raja Misool dan Raja Waigama. Asal-usul tentang kerajaan-kerajaan Raja Ampat ini terangkum dalam berbagai mitos dan legenda.
Menurut informan kehadiran Islam ke Papua dari jalur Raja Ampat datang dari Salawati dibawa dan disebarkan oleh figur-figur yang melakukan penyebaran Islam secara pribadi sambil berdagang, mencari sumber kehidupan yang lebih baik, atau menghindar dari dinamika sosial politik di tanah kelahirannya.
Jalur Seram
Seorang informan yang bergelar Imam Besar mengatakan bahwa berdasarkan silsilah dan penuturan leluhurnya, Islam datang ke Papua melalui Seram. Senarai menyebarkan agama Islam, sebagian dari mereka menikah dengan penduduk setempat, sehingga melahirkan keturunan campuran Maluku-Papua.
Sebagaimana dijelaskan oleh Haji Jafar Bugis pemilik dua naskah kuna yang berasal dari awal abad ke-19. Menurutnya, nenek moyangnya yang berasal dari Sulawesi kemudian hijrah ke Tual, Seram Timur, dan akhirnya berdiam di Kampung Lilinta di Pulau Misool. Demikian dikutip dari buku Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia Jilid 1 diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.
Keturunan Bugis yang berdiam di Misool sampai saat ini masih meneruskan tradisi leluhurnya dengan mengamalkan tarikat yang hanya boleh diikuti oleh keluarga yang memiliki jalur keturunan leluhurnya saja.