Rabu 07 Feb 2018 14:48 WIB

Maria Kesulitan Alami Ramadhan Pertama

Maria harus menghadapi keluarganya yang atheis.

Mualaf
Foto: Onislam.net
Mualaf

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Sebelum mengenal pria itu, Maria adalah seorang atheis. Ia sangat tak percaya akan eksistensi Tuhan. Agama merupakan hal asing. Keimanan pun sangat jauh dari hatinya.

Seperti halnya Maria, orang tuanya pun berpaham atheis. Dengan paham tersebut, mereka membesarkan Maria. “Saya dibesarkan dengan apa yang orang tua saya ajarkan. Saya benar-benar tidak percaya pada agama apapun itu,” tutur Maria dalam acara “They Chose Islam” di salah satu saluran televisi Aljazair.

Orang tua Maria berasal dari Afrika Selatan yang kemudian bermigrasi ke Boulder, Colorado, AS. Maria lahir dan dibesarkan di Colorado. Setiap kali membicarakan agama, keluarga Maria selalu memandangnya negatif. Tak heran jika Maria tumbuh besar dengan sikap antiagama. “Sebelumnya, saya benar-benar melihat agama bukanlah hal yang baik. Saya pikir agama adalah sesuatu yang menyebabkan banyak masalah, seperti perang di dunia dan sebagainya,” ujarnya.

Pandangan negatif Maria pada agama berubah sudah setelah ia mengenal seorang pria asal Pakistan yang beragama Islam. Mereka lalu bertunangan. “Ia seorang yang baik hati. Mungkin karena seorang Muslim, ia benar-benar baik hati,” kenang Maria.

Sifat baik hati si prialah yang pertama kali memesona Maria. “Ia selalu baik kepada semua orang.” Meski awalnya tak pernah bicara tentang agama, pria berdarah Pakistan itu kemudian membuka pintu bagi Maria untuk mempelajari Islam. Maria yang awalnya antiagama mulai berdiskusi tentang Islam dengan sang tunangan. Fakta-fakta tentang Islam pun kemudian ia kumpulkan tak hanya dari tunangannya, tapi juga dari Muslimin lain yang dikenalnya. Maria juga membeli Alquran terjemahan bahasa Inggris kemudian rutin membacanya.

Awalnya, Maria mengira, sifat baik pasangannya memang sudah menjadi tabiatnya. Namun, setelah mempelajari Islam, ia mulai tahu bahwa sikap baik kekasihnya itu karena menerapkan ajaran Islam. Maria pun terus berpikir hingga kemudian menyadari bahwa Islamlah yang membuat pria pujaan hatinya memiliki sifat luar biasa baik.

Seperti lahir kembali

Maria belum memutuskan untuk berislam meski telah mempelajarinya. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Kemantapan hati untuk menjadi Muslimah baru dirasakan setelah sang tunangan tewas akibat kecelakaan.

Saat kejadian nahas itu, ia sedang bersekolah di Arizona. Rupanya, pria tersebut bermaksud mengunjunginya ke Arizona. Mengendarai mobil dari Boulder ke Arizona, pria Muslim yang baik hati ini mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya.

Perginya sang tunangan rupanya membuat Maria mengetahui makna kehidupan. “Itu adalah pengalaman pertama saya tentang kematian dan itulah yang mengilhami saya untuk melihat Islam lebih dekat lagi,” ujarnya.

Berangkat dari tragedi itu, ia melihat ada sesuatu yang lebih penting dari sekadar kematian. “Ada sebuah kekuatan lebih besar yang mendiktenya.”

 

Dua bulan pascakematian sang tunangan, Maria semakin rajin membaca buku-buku keislaman. Hingga suatu hari, ia membuka Alquran yang menjawab segala keraguannya dan menjawab segala hikmah di balik peristiwa yang menimpanya. Sejak itulah, Maria memutuskan untuk bersyahadat.

Keputusan berislam kemudian disampaikan Maria kepada teman-temannya yang Muslim. Mereka menyarankan Maria untuk menemui seorang ulama di Denver. “Saya pun berbicara dengan syekh di Denver. Ia memastikan bahwa apa yang akan saya lakukan benar-benar apa yang saya inginkan. Ia ingin memastikan bahwa saya melakukannya bukan karena seseorang, bukan karena tunangan saya. Kami membicarakan hal ini dan saya mengatakan bahwa ini untuk diri saya sendiri,” papar Maria.

Maria pun kemudian bersyahadat di hadapan ulama tersebut dan dua orang teman sebagai saksi. Setelah memeluk Islam, Maria semakin banyak memiliki teman, terutama dari kalangan Muslim. Ia pun bersyukur dapat mengenal tunangannya. Karena, melalui pria itulah hidayah datang kepadanya. “Jika tidak bertemu dengan dia, saya tidak mungkin mengenal dan belajar Islam.”

Menjadi Muslimah membuat Maria merasa seperti lahir kembali sebagai seorang yang bersih dan sebagai sosok yang berbeda. Segala hal buruk yang pernah ia lakukan serasa terhapus setelah memeluk agama Islam.

Meluluhkan Hati Orang Tua

Setelah menjadi Muslimah, Maria tentu harus menghadapi keluarganya yang atheis. Awalnya, mereka tak menganggap keputusan Maria untuk memeluk Islam sebagai hal yang serius. Barulah ketika Ramadhan tiba, mereka melihat kesungguhan Maria berislam. Mereka kagum dengan tekad Maria untuk menjalankan ibadah puasa meski sangat berat.

“Saya puasa sebulan penuh. Itu adalah Ramadhan pertama saya dan itu benar-benar sangat sulit. Tapi, saya melakukannya dan mereka baru menyadari bahwa saya sangat serius.”

Melihat kesungguhan itu, kedua orang tua Maria pun luluh. Mereka menerima keputusan putrinya untuk menjadi Muslim.

Selain orang tua, tantangan lain juga dihadapi Maria ketika memutuskan untuk berhijab. Meski ia bukan satu-satunya Muslimah yang mengenakan jilbab di AS, namun Maria merasa sangat asing dan terkucil. “Ketika pertama kali mengenakan jilbab, itu sangat sulit. Setiap orang menatap saya. Ada gadis-gadis lain di sini yang mengenakan hijab, tapi saya merasa sayalah satu-satunya gadis Amerika yang mengenakan jilbab.”

Meski demikian, hal itu tak mengurungkan niatnya untuk menutup aurat. Ia justru merasa bangga karena dapat berjilbab sebagai kaum minoritas. Kini, ia merasa jilbab adalah bagian dari dirinya sehingga tak akan mungkin dilepas.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement