Senin 05 Feb 2018 16:45 WIB

Produsen Viostin DS dan Enzyplex Langgar UU

Kedua industri tidak menginformasikan produknya sesuai dengan yang sebenarnya.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Agus Yulianto
Kepala Badan POM RI Penny  K  Lukito, Direktir LPPOM MUI Lukmanul Hakim, Ketau pengurus harian YLKI Tulus Abadi (kiri ke kanan) memberikan  keterangan kepada media terkait produk yang mengandung DNA babi di kantor BPOM, Jakarta, Senin (5/2).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Kepala Badan POM RI Penny K Lukito, Direktir LPPOM MUI Lukmanul Hakim, Ketau pengurus harian YLKI Tulus Abadi (kiri ke kanan) memberikan keterangan kepada media terkait produk yang mengandung DNA babi di kantor BPOM, Jakarta, Senin (5/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, perlu adanya langkah hukum yang dilakukan terhadap industri farmasi yang terbukti melakukan pelanggaran, yang didasarkan atas peraturan yang berlaku. Hal tersebut dilakukan agar tidak terulang kembali kasus yang sama, dimana baru-baru ini ditemukannya DNA babi terhadap dua produk obat yaitu Viostin DS dan Enzyplex.

Tulus mengatakan, PT Pharos selaku produsen Viostin DS dan PT Medifarma Laboratories selaku produsen Enzyplex telah melanggar UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Menurut dia, berdasarkan Pasal 8 Huruf F, kedua industri tersebut tidak menginformasikan produknya sesuai dengan yang sebenarnya.

"Pasal 8 Udang-undang Perlindungan Konsumen Huruf F menyimpulkan tidak sesuai dengan label. Label tidak menyebutkan adanya kandungan babi. (Perusahaan) Bicara konteks halal, tapi nyatanya mengandung dan tidak disebutkan," kata Tulus di Gedung BPOM, Jakarta, Senin (5/2).

Untuk itu, kata Tulus, jika terindikasi adanya DNA babi, maka perusahaan harus mencantumkan informasinya dalam produk. Sehingga, konsumen dapat memilih produk yang diinginkannya dan terlindungi dari hal tersebut.

Oleh sebab itu, dia mendorong BPOM untuk memperkuat pengawasan terhadap kedua industri farmasi tersebut, agar tidak terulang kembali hal yang sama. Dan juga, agar kewenangan BPOM semakin diperluas untuk melakukan pengawasan terhadap produsen obat yang melakukan pelanggaran.

"Apa yang dilakukan Badan POM sudah seharusnya dilakukan bahkan mendorong pengawasan, agar tidak terrjadi berulang kali," tambahnya.

Ia juga mendorong agar kedua industri tersebut untuk melakukan kompensasi kepada konsumen yang telah mengkonsumsi produnya. Dimana, perusahaan harus ganti rugi kepada konsumennya, sebab konsumen punya hak untuk mendapat ganti rugi.

"(Perusahaan harus) mengembalikan dan mendeteksi kerugian disepanjang kasus ini terjadi. Kasus ini bukan perdata ini merupakan kasus pidana," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement