REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BPOM telah memerintahkan PT Pharos Indonesia selaku produsen Viostin DS dan PT Medifarma Laboratories selaku produsen Enzyplex, untuk menarik seluruh produknya yang beredar dipasaran. Bahkan, penarikan tersebut telah ditindaklanjuti dengan mencabut izin edar dari kedua produk tersebut.
Namun, BPOM memberikan kesempatan bagi kedua produsen tersebut untuk mengganti bahan baku dan memperbaiki produknya, dalam waktu yang masih belum ditentukan. "Kalau sudah kita kasih kesempatan satu kali (penarikan produk) dan tidak bisa memenuhi, kita kasih kesempatan ganti bahan baku dan memperbaiki produk," kata Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito di Gedung BPOM, Jakarta, Senin (5/2).
Penny mengatakan, BPOM telah melakukan pengawasan terhadap kedua produk tersebut, baik pre-market maupun post-market. Pada saat pengawasan pre-market, ada pengawasan terhadap jamiman, mutu, keamanan, dan manfaat dari semua produk.
"Kemudian dari produk tersebut tidak mengandung bahan babi. Kami bekerja sama dengan LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, Kosmetika) MUI yang memberikan hasil terhadap uji coba bahan baku," tambahnya.
Sementara, dalam Pengawasan post-market, ditemukan indikasi berbeda dari kedua produk tersebut. Dimana, ditemukan adanya DNA babi dalam Viostin DS dan Enzyplex, yang mengindikasikan adanya ketidakkonsistenan informasi data pre-market dengan hasil pengawasan post-market.
"Hasil pengujian pada pengawasan post-market menunjukkan positif DNA babi. Sementara data yang diserahkan dan lulus evaluasi Badan POM saat pendaftaran produk, menggunakan bahan baku bersumber dari sapi," katanya.
Untuk itu, dalam rangka melindungi masyarakat Indonesia, BPOM tidak ragu memberikan sanki berat terhadap industri farmasi yang terbukti melakukan pelanggaran. Karenanya, dilakukan penarikan produk dan mencabut izin edar dari kedua produl tersebut.
BPOM, kata Penny, juga akan melakukan perbaikan sistem dan meningkatkan kinerja dengan melakukan pengawasan obat dan makanan. Hal ini, guna memastikan produk yang dikonsumsi masyarakat telah memenuhi persyaratan keamanan, khasiat dan mutu.
"Hal ini semakin menunjukkan perlunya penguatan dasar hukum pengawasan obat dan makanan melalui pengesahan undang-undang pengawasan obat dan makanan," ujarnya