REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Ajeng Tejomukti
Sally Keller tumbuh besar di Connecticut, negara bagian Amerika Serikat yang terletak di sebelah timur laut. Dia dibesarkan di sebuah keluarga yang aktif dalam berbagai kegiatan sebuah kelompok keagamaan. Setiap akhir pekan dia pasti aktif mengikuti berbagai kegiatan ritual.
Namun, aktivitas itu selalu saja menyisakan pertanyaan tentang keimanan. Dia semakin ragu dengan agama sebe lumnya. Hal itu terjadi sebelum dia memeluk Islam. "Selalu ada hal-hal tertentu yang mengganggu saya. Tapi dengan Islam, saya tidak pernah ragu," ujar dia.
Meskipun dibesarkan di keluarga religius, Sally pernah memutuskan menjadi se orang ateis. Namun, pengalaman menghadapi sakaratul maut menyadarkannya untuk kembali kepada Tuhan. Dia tak mampu melukiskan pengalaman tersebut. Yang diingatnya hanyalah keindahan, cahaya, dan kehangatan yang membawanya kepada kedamaian.
Pengalaman itu mengingatkannya akan tiga buah hati yang harus hidup dalam suasana keagamaan. Mereka harus tumbuh de ngan tetap memegang teguh keimanan yang akan menuntunnya menuju kehidupan yang hakiki.
Pengalaman itu terjadi saat dia hamil hingga melahirkan putrinya, Yarrow. Sally mengalami demam dan menderita penyakit karena tipe Rh pada golongan darahnya bertolak belakang dengan yang dimiliki bayinya. Saat itu dia merasa akan meninggal karena kondisi kesehatannya memburuk selama kehamilan. "Saya merasa seperti akan meninggal. Ketika kembali, saya melihat diri saya berbaring di tempat tidur, saya pikir telah terlambat," tutur dia.
Selama empat hari, Sally mengingat pengalaman sakaratul maut. Dia merasa diba wa ke tempat yang indah. Saat itu ada sesuatu yang membisikkan dia dapat kem bali ke dunia dan hidup jika mem besarkan ketiga anaknya untuk rajin beribadah di gereja lokal.
Dia bersama suaminya pergi ke sebuah gereja UCC di Jaffrey. Di kota inilah selama 40 tahun terakhir mereka tinggal. Tempat itu begitu terang, indah, dan damai. Namun, dia mulai tersadar ketika masih mengingat ketiga anaknya dan ingin segera kembali. Sejak saat itu dia mulai rajin ke gereja. Meskipun ateis, Sally selalu menyambut orang-orang yang datang ke rumahnya dengan senang.
Mengenal Islam
Meski lingkungan keluarga sarat dengan sebuah keyakinan, anak Sally, Zach, lebih memilih Islam sebagai jalan hidup. Zach memeluk Islam setelah mengenal siswa Muslim di Universitas Stanford saat belajar sejarah.
Anak itu kemudian bertemu dengan seorang alim, Syekh Hassan Cissie. Dia merupakan ilmuwan Muslim dan pendiri institut Agama Afrika Amerika yang membantunya menjadi mualaf. Pertemuan itu terjadi di Senegal pada 1990 saat Zach berwisata ke Senegal. Islam mengubah anaknya menjadi lebih baik. Zach lebih bijaksana dan bijak dalam bersikap. Ini merupakan sebuah transformasi.
Pada 2000, Sally harus menghadapi pil pahit, dia harus mengalami perceraian. Setelah pengalaman buruknya berumah tangga, dia ingin kembali tenang dekat dengan Tuhan. Anehnya ibu tiga anak ini justru ingin bertemu dengan Syekh Hassan. Ketika itu banyak orang beranggapan Sally sudah tidak waras.
"Saya tidak berniat masuk Islam, saya baik-baik saja dengan keyakinan yang ada," ujar dia.
Sally memutuskan untuk bertemu dan berterima kasih kepada guru spiritual anaknya, Syekh Hassan Cissie. Awalnya, saat menemui Syekh Hassan, Sally tidak berniat memeluk Islam, tetapi takdir berkata lain. Dia mengucapkan syahadat usai bertemu Syekh, tepatnya di Senegal tahun 2000.
Usai perjalanannya menemui Hassan, anak pertamanya terkejut dengan keputusan ibunya. Sang anak lebih takjub lagi ketika mengetahui Sally berkomitmen untuk mengenakan jilbab agar auratnya tertutup dan hanya memasrahkan kehidupannya kepada Sang Pencipta.
Tepat saat Sally menjahit kerudung, anak pertamanya, Vernon, menghubunginya. Vernon menjadi seorang tokoh agama ma yoritas di Attleboro, Massachusetts. Vernon dikenal taat dalam memeluk keyakinan setelah Sally tak lagi ateis.
Sally ingin mengakui keislaman pada anak pertamanya. Namun, dia merasa gugup. Dia tidak ingin melawan ajaran Is lam dengan berbohong kepada anaknya. Dia kemudian jujur dengan apa yang dila kukannya saat itu tentang menjahit keru dung. Kemudian, sambungan telepon ke duanya hening, lalu Vernon menutup teleponnya.
Pengakuan Sally mendapatkan tanggapan kekecewaan dari anaknya karena sang ibu yang mengajak keluarganya untuk taat pada agama terdahulu, kini berpindah agama. Kekecewaan sebelumnya dirasakan Vernon saat adik laki-lakinya mengakui telah memeluk Islam. Ini tidak mudah bagi Vernon, tetapi dia bersikukuh dengan agama yang dianutnya sekarang demi tradisi keluarga.
Kini Vernon telah menerima perbedaan ini. Dia menerima jika ibu dan adiknya memeluk Islam. Tak hanya adik laki-laki nya, Yarrow, adik bungsunya, pun telah memeluk Islam. "Kami punya hubungan baik sekarang. Bagi saya, ini adalah pelajaran bagus dalam menciptakan hubungan antariman dan kebersamaan," ujar Vernon.
Diakui Vernon, ibunya menjadi lebih bijaksana setelah memeluk Islam. Dia tak lagi mengalami stres jika menghadapi masalah. "Kami memilliki hubungan baik sekarang, ini merupakan sebuah pelajaran yang berharga dalam hubungan keimanan dengan persamaan di sebuah keluarga," kata Vernon.
Setelah menjadi mualaf, kehidupan Sally telah berubah menjadi lebih baik. Meskipun dia mengakui, banyak orang menatapnya aneh ketika melihatnya dengan busana Muslim setiap hari.
Keyakinannya kepada Allah memberinya kekuatan untuk menghadapi diskriminasi dari orang di sekitarnya. Pernah satu ketika saat berada di Monadnock dia diserang. Se orang pria berteriak padanya dari atas truk di Keene. Dia sering mengalami kekerasan verbal karena agamanya.
Sally diminta untuk kembali ke negara asalnya karena pakaiannya tersebut. Sally diminta untuk kembali ke Connecticut, tempat dia dilahirkan dan tumbuh besar. Banyak orang melihat dia banyak berubah. Kini dia berusaha sebisa mungkin untuk menghindari konflik jika menghadapi sebuah masalah.
Diskriminasi yang dihadapinya lebih karena ketidaktahuan mereka mengenai Islam. Sally meyakini, jika mereka memahami Islam, pasti akan bersikap ramah kepada siapa pun. "Saya merasa gugup dari waktu ke waktu, tapi saya percaya kepada Tuhan," kata ibu tiga anak tersebut.
Selain itu, umat Islam yang tinggal di sekitarnya tidaklah banyak. Mayoritas adalah penganut agama mayoritas di Barat. Namun, kondisi itu tidak mematahkan semangatnya. Keadaan itu justru memberikan semangat.
Sally berusaha meluangkan waktu lebih banyak untuk berbicara dengan orang- orang terkait keimanannya. Dia sering menjadi pembicara di Masjid Worcester, Massachusetts, tentang berbagi pengalaman spiritualnya saat memeluk Islam hingga kini. "Orang bilang saya sudah berubah, tapi sulit melihat perubahan pada diri sendiri," kata Sally.
Beberapa bulan lalu Sally bertemu dengan Robert Azzi. Dia adalah Muslim Amerika keturunan Arab. Azzi dikenal sebagai penanggung jawab untuk acara diskusi terkait Muslim. Diskusi Islam ini diselenggarakan di Perpustakaan Umum Jaffrey. Saat itu Sally membawa makanan untuk berbuka puasa.
Sally membantu mereka menyediakan makanan berbuka. Ini karena dia khawatir peserta diskusi dan Azzi kesulitan mencari makanan berbuka puasa setelah menahan haus dan lapar seharian. Peserta diskusi menyambut Sally dengan senyuman. Mereka mendengarkan pemaparan ibu paruh baya itu tentang perjalanan spiri tualnya menemukan risalah tauhid.