Sabtu 27 Jan 2018 05:07 WIB

Kisah Kota Marawi: Berusaha Bangkit dari Kehancuran Perang

Persng di Marawi, Fikipina Selatan.
Foto:
Tentara Filipina di Marawi, Mindanao. Tentara bertempur melawan kelompok ISIS Maute sejak pekan lalu.

Dulu pada tanggal 23 Mei, sekitar 1.000 orang bersenjata menyerbu dan menyita sebagian besar Marawi dengan tawaran berani untuk mengubah kota menjadi "wilayah", atau provinsi, negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS). Dan tentu saja yang terjadi selanjutnya adalah perang yang berkecamuk selama lima bulan.

Dan pada saat militer Filipina mengumumkan kemenangan pada 23 Oktober, telah lebih dari 1.000 gerilyawan, pasukan pemerintah dan warga sipil tewas. Akibatnya, separuh Marawi terbengkalai dan sekitar 400 ribu orang yang tinggal di dan dekat kota mengungsi.

photo
Puing-puing sisa perang di Marawi.

Namun kini, di balik lengkungan yang menandai perbatasan Marawi, kehidupan kembali berasung normal dan hiruk pikuk. Saat The Sunday Times berada di sana selama enam hari mulai tanggal 12 Desember, tampak sebuah rumah sakit di  Amai Pakpak di antara bangunan pemerintah pertama yang diserang oleh militan.

Di Mindanao State University (MSU) yang luas, para pemuda berkeliaran di sepanjang lorong-lorong dalam kelompok-kelompok yang ramai. Mereka mengobrol, membaca, bermain gitar, atau memeriksa sepeda motor seseorang. Di dalam kampus universitas, yang merupakan kota tersendiri, sebuah distrik bisnis sibuk dengan perdagangannya. Antrean panjang terbentuk di restoran, Dan pasar dipenuhi dengan aneka aktivitas.

Tapi dari seberang jembatan hanya beberapa langkah dari balai kota, kehancuran mampu memenuhi mata. Tempat ini disebut sebagai ground zero atau "area pertempuran utama", Memang dulu di sinilah pertempuran paling sengit berlangsung antara pasukan pemerintah dan militan terjadi.

Tidak ada yang diizinkan pergi ke sana, karena pasukan keamanan terus menyapu reruntuhan jebakan dan bahan peledak. Sebagian besar dari mereka yang dulu tinggal di sana pun sekarang tinggal di pusat pengunsian yang sesak. Tempat ini hampir tidak dapat ditinggali, dimana kebencian telah puncak buruknya.

"Sangat dingin di sini di malam hari, dan kita tidur di permukaan yang keras, Jadi sangat menyiksadi tubuh. Yang kita butuhkan adalah kasur karena kita harus kita tidur dengan tikar jerami," kata Riga Saadodin Panda, 21, seorang pengungsi dari kabupaten Wawlayan Marinaut, yanh hidup dalam 'Ground Zero' itu.

Saadodin mengatakan, akhirnya ia dan kerabatnya melarikan diri dari rumah mereka ketika gerilyawan mulai menggiring sandera pada masa awal konflik. Mereka dikirim ke pusat evakuasi di kota Saguiaran terdekat, di mana mereka diberi tempat tinggal bersama lebih dari 200 keluarga lainnya. Letaknya di bawah gimnasium barebones dengab luas seukuran dua lapangan basket.

Mereka pun pernah berada di sana sejak itu dengan hidup dari jatah makanan. Beberapa orang sudah mulai menjual barang-barang yang disumbangkan seperti sarden kaleng, untuk membeli barang-barang yang mereka butuhkan lebih banyak, seperti popok. "Kami sakit, maka kami ikan sarden," katanya salah dari mereka memberitahu relawan Palang Merah.

Beberapa orang telah berusaha untuk mendapatkan uang ekstra dengan menjual rokok, permen, dan barang-barang kecil lainnya yang mereka beli dengan uang tunai dari upah melakukan pekerjaan kasar untuk kelompok bantuan. Namun itu adalah ketidakpastian yang membuat mereka frustrasi karena tidak ada kabar berapa lama mereka bisa kembali ke rumah, atau kemudian mereka tidak diizinkan masuk sama sekali.

Apalagi, kebanyakan dari mereka tidak memiliki hak atas tanah yang ditempati, yang kini merupakan bagian dari reservasi militer. Warga pun dan khawatir bila militer ingin sekali merebrut kembali tanah itu. Selain itu, mereka khawatir dengan tidak adanya jaminan bahwa pemerintah akan memperpanjang bantuan keuangan atau pinjaman untuk membantu membangun kembali rumah mereka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement