REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam memberikan kebebasan individual dalam hal berekonomi dan berinteraksi secara sosial. Selama tetap dalam koridor Islam yang menekankan keadilan, antipenipuan, dan antimonopoli. Ter masuk soal bagaimana perusahaan menetapkan gaji atas karyawan atau para buruh dan pekerja kasar.
Hal ini penting, mengingat praktik di lapangan kerap tak sesuai de ngan kaidah yang ditekankan Islam di atas. Upah yang diterima oleh para pekerja tersebut dinilai tak sepadan dengan tugas yang mereka kerjakan. Jumlahnya pun tak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Padahal, di saat bersamaan perusahaan tempat bekerja memiliki kemampuan untuk membayar laik dan sebanding serta dapat menopang biaya hidup mereka.
Pakar Ekonomi Islam dan Guru Besar Hukum Islam Universitas Al Azhar, Kairo Mesir, Prof Husain Husain Syahatah, dalam fatwanya bertajuk Ad-Dhawabith As Syar’iy yah wa Al Usus Al Itishadiyyah li Tah did Al Adna Lilajr (Pedoman Ba tasan Upah dalam Islam), dalam kajian fikih pemberian upah terhadap para karyawan dan buruh dikategorikan ke dalam transaksi pembelian manfaat. Sebagaimana kontrak yang berlaku dalam sewa-menyewa.
Setidaknya ada tiga rukun utama dalam transkaksi ini, yaitu ijab dan kabul, objek transaksi; bisa berupa pembelian tenaga otot atau ide dan gagasan, atau kedua-duanya, dan rukun selanjutnya ialah akad tran saksi. Salah satu ayat yang bisa dijadikan sebagai dasar transaksi mempekerjakan orang lain ialah ayat berikut. “Berkatalah dia (Syu'aib), ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja de nganku de lapan tahun dan jika ka mu cukupkan 10 tahun maka itu adalah (suatu ke baikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan, kamu Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS Al Qashash [28]: 27).
Lantas, apa saja kaidah yang penting diperhatikan dalam penentuan upah bagi para karyawan?
Menurut Husain, para ahli fikih telah merumuskan beberapa kaidah untuk menghindari terjadinya kecurangan perusahaan atas para pekerja. Sejumlah pedoman tersebut, antara lain, pertama hendaknya karyawan yang bersangkutan memastikan betul berapa upah yang akan ia terima. Kalau perlu, kontrak tertulis menggunakan materai. Dalam sebuah riwayat, Rasulullah melarang mempekerjakan seseorang ketika belum ada kejelasan berapa nominal gaji yang akan ia terima.
Kedua, kesepakatan penuh antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Jauh dari eksploitasi dan pengerdilan hak. Menggaji karyawan, sebagai mana transaksi jual man faat dalam kasus sewa-menyewa, mesti dilangsungkan dalam prinsip pemenuhan hak dan kewajiban. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS Al Maidah [6] 1).
Ketiga, upah minimum regional yang ditentukan hendaknya sesuai dengan hajat hidup sehari-hari. Setidaknya, bisa mencukupi nafkah anak dan istri yang bersangkutan. Berupa sandang, pangan, kesehatan, dan pendidikan anak. Kaidah fikih menyebutkan salah satu prinsip asasi sebuah transaksi ialah ketiadaan bahaya dan membahayakan.
Artinya, jangan sampai upah yang telah ditentukan itu menyebabkan minimnya kesejahteraan karyawan dan keluarganya. Bagaimana mencapai kesepakatan antara karyawan dan perusahaan? Acap kali, negosiasi upah tersebut buntu. Di sinilah tanggung jawab dari negara, dalam hal ini pemerintah. Negera bertanggung jawab memediasi kebuntuan dua kubu itu.
Keempat, dengan tetap memperhatikan standar kecukupan dalam batas minimal gaji, penting pula diperhatikan agar penggajian sesuai dengan kompetensi dan kinerjanya. Penghargaan atau bonus terhadap karyawan penting diterapkan. Bila dikaitkan dengan amal, Islam memperhatikan kesesuian antara balasan pahala dan perbuatan. “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)-nya.” (QS Al Zalzalah [99]: 7).
Dan, acuan yang keempat, per usahaan hendaknya menyediakan asuransi masa pensiun, atau asuransi jiwa untuk menyikapi kondisi-kondisi membahayakan, seperti penugasan di daerah bencana alam atau konflik. Kaidah ini sesuai dengan solidaritas sosial (at takaful al ijtima’i). Penyediaan asuransi ini bisa bekerja sama dengan pihak pemerintah. Karena itu, sebagai otoritas tertinggi dan waliyyul amri, penyelenggaraan asuransi kesehatan ataupun jiwa termasuk tanggung jawabnya. Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas mereka yang dipimpin.” (HR Bukhari Muslim).