Rabu 17 Jan 2018 00:31 WIB

Baitul Maqdis Indikator Kekompakan Umat Islam

Rep: Harun Husein/ Red: Agus Yulianto
Baitul Maqdis
Foto: telegraph
Patung ksatria Mongolia dan Genghis Khan di wilayah Inner Mongolia.

Pembebasan kedua

Setelah shock kehilangan Baitul Maqdis, perlahan muncullah angin segar. Aljazeera, dalam film dokumenter bertajuk The Crusa des, An Arab Perspective, menggambarkan nya dengan kemunculan tipologi kepemim pinan baru di dunia Islam, yaitu warrior king/princes. Dengan model pertamanya adalah Maudud ibn Altuntash, seorang atabeg (semacam emir atau gubernur) Sel juk di Mosul. Dialah yang ditunjuk oleh Sul tan Seljuk, Muhammad I, untuk melawan Pasukan Salib di berbagai front, untuk mem pertahankan sejumlah kota seperti Damas kus dan Aleppo.

Suatu hari, Gubernur Damaskus, Tugh te kin, meminta bantuan Maudud untuk meng hadapi Pasukan Salib. Dan, dalam Per tempuran Sannabra di dekat Danau Tiberias, pada 28 Juni 1113, pasukan Maudud berhasil mengalahkan Pasukan Kerajaan Yerusalem yang langsung dipimpin Raja Baldwin I. Menyikapi kekalahan Pasukan Salib terse but, sejarawan Kristen, William of Tyre, me nu lis bahwa "Langit telah menolak Pasukan Salib". Sebab, bila Tuhan bersama Pasukan Salib, William mengatakan pastilah mereka tak akan terkalahkan.

Namun, saat diundang oleh Tughtekin ke Damaskus pada akhir 1113, Maudud ter bu nuh menjelang shalat Jumat. Sejumlah se jarawan menilai, para pemimpin Islam saat itu mengkhawatirkan popularitas Maudud yang kian menanjak, sehingga mengi rimkan seorang hasyasyin untuk mem bunuhnya. Meski demikian, model kepemimpinan warrior princes tersebut kemudian berlanjut kepada para pahlawan Islam sesudahnya yang kebetulan dari Di nasti Zanki yang berkuasa di Mosul, seperti Imaduddin, Nuruddin, hingga Salahuddin.

Sebelum mengambil alih Baitul Maqdis, sebagian besar waktu yang dihabiskan Ima duddin, Nuruddin, dan Salahuddin, adalah mempersatukan wilayah Islam, mulai dari Damaskus sampai Mesir. Setelah berhasil mempersatukan wilayah Muslim, barulah Salahuddin memusatkan perhatiannya ke Baitul Maqdis. Dan, Salahuddin Al Ayyubi akhirnya berhasil mengalahkan Pasukan Salib secara telak pada Pertempuran Hittin yang berlangsung 3-4 Juli 1187, dan mena wan Raja Yerusalem, Guy de Lusignan.

Dua bulan kemudian, pada 27 Rajab 583 Hijriyah, atau bertepatan dengan 2 Oktober 1187, Salahuddin berhasil merebut Baitul Maqdis, dan dua masjid di Kompleks Haram al Sharif, Masjid Al Aqsa dan Masjid Kubah Batu, dikembalikan kepada fungsinya se mula. Maka, sejak itulah, adzan kembali ber ku mandang di tanah para nabi itu, setelah tak terdengar selama 88 tahun.

Hilangnya Yerusalem, membuat Barat menjadi shock. Dan, kemudian mengirim kan ekspedisi berikutnya. Namun, Pasukan Salib II yang dipimpin para raja, terutama Richard the Lion Heart, maupun gelombang Pasukan Salib berikutnya yang berjilid sam pai angkatan VII, tak berhasil merebut Baitul Maqdis.

Memang, pada 1229, Sultan Dinasti Ayyubiyah, Al Kamil, pernah menyerahkan Baitul Maqdis secara damai kepada pihak Kristiani, demi mengakhiri Perang Salib VI. Penyerahan itu menyusul kesepakatan Al Kamil dengan Kaisar Romawi Suci, Frede rick II. Perjanjian tersebut, antara lain men syaratkan tempat-tempat suci umat Islam tetap dikontrol oleh Dinasti Ayyubiyah yang saat itu berpusat di Mesir.

Penyerahan Baitul Maqdis ini terbilang kontroversial. Namun, sejumlah sejarawan memandang langkah tersebut sebagai se buah taktik belaka, untuk menghindari per tumpahan darah, karena sepanjang Mesir dan Suriah dalam kontrol Muslim, Baitul Maqdis akan tetap mudah diambil alih. Pada 1239, An Nasir Ad Dawud, emir Ayyubiyah di Kerak, mengambi alih Baitul Maqdis. Dia hanya sebentar menguasainya. Namun, se belum meninggalkan kota itu, dia meng hancurkan bentengnya, sehingga setiap saat kota itu mudah dimasuki. Pasukan Salib tetap menguasai kota itu hingga tahun 1244.

Pada 1244, Baitul Maqdis diambil alih oleh pasukan Khawarizm yang diundang oleh salah seorang penguasa Ayyubiyah yang sedang bertikai. Namun, pada 1246, Dinasti Ayyubiyah kembali mengontrol Baitul Maq dis.

Eropa kemudian melancarkan Perang Salib VII untuk merebut Yerusalem, namun pimpinannya Raja Louis IX dari Perancis, ditangkap oleh Sultan Turansyah dari Dinas ti Ayyubiyah. Namun, kemudian dilepaskan. Perang Salib VII tersebut merupakan gelom bang terakhir serangan dari Kristen Latin.

Jatuh ke tangan Mongol

Tapi, pertikaian internal Dinasti Ayyu biyah kemudian terjadi, yang berbuntut ter bunuhnya Sultan Turansyah. Hasilnya, ke sultanan itu terbagi dua. Di Mesir kemu dian berdiri Kesultanan Mamluk yang dipimpin Aybak, sedangkan Kesultanan Ayyubiyah merelokasi ibu kotanya ke Damaskus. Ayyu biyah tetap mengontrol Baitul Maqdis hing ga sepuluh tahun berikutnya, sebelum da tangnya gelombang serangan Mongol.

Tentara Mongol memasuki Baitul Maq dis pada tahun 1260. Serangan Mongol ini di pimpin oleh Jenderal Kitbuqa, seorang Kristen Nestorian. Setelah berhasil merebut Baitul Maqdis, Hulagu Khan menyurati Raja Louis IX, bahwa Yerusalem telah kembali ke pangkuan Kristen di bawah aliansi Franco- Mongol.

Saat itu, negeri-negeri Islam takluk di bawah Mongol, bahkan Baghdad dibuat hancur lebur. Benteng terakhir umat Islam yang menolak menyerah kepada Mongol saat itu adalah Mesir di bawah Dinasti Mam luk. Dan, dari Mesir lah, upaya mengambil alih Baitul Maqdis kembali dilanjutkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement