REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah pembuatan sabun di dunia Islam dicatat secara baik oleh Raja al-Muzaffar Yusuf ibnu `Umar ibnu `Ali ibn Rasul (wafat 1294 M). Dia adalah seorang Raja Yaman yang berasal dari Dinasti Bani Rasul yang kedua. Raja al-Muzaffar merupakan seorang penguasa yang senang mempelajari karya-karya ilmuwan Muslim dalam bidang kedokteran, farmakologi, pertanian, dan tekonologi.
Raja al-Muzaffar juga sangat mencintai ilmu pengetahuan. Pada masa kekuasaannya di abad ke-13 M, ia mendukung dan melindungi para ilmuwan serta seniman untuk berkreasi dan berinovasi. Dalam risalahnya, sang raja mengisahkan bahwa Suriah sangat dikenal sebagai penghasil sabun keras yang biasa digunakan untuk keperluan di toilet.
N Elisseeff dalam artikelnya berjudul "Qasr al-Hayr al-Sharqi", yang dimuat dalam Ensiklopedia Islam volume IV, menyatakan, para arkeolog menemukan bukti pembuatan sabun dari abad kedelapan Masehi. Saat itu, kekhalifahan Islam sedang menjadi salah satu penguasa dunia.
Ahli ilmu bumi Muslim kelahiran Yerusalem, al-Maqdisi, dalam risalahnya berjudul "Ahsan al-Taqasim fi ma`rifat al-aqalim", juga telah mengungkapkan kemajuan industri sabun di dunia Islam. Menurut al-Maqdisi, pada abad ke-10, Kota Nablus (Palestina) sangat termasyhur sebagai sentra industri sabun. Sabun buatan Nablus telah diekspor ke pelbagai kota Islam.
Menurut al-Maqdisi, sabun juga telah dibuat kota-kota lain di kawasan Mediterania, termasuk di Spanyol Islam. Andalusia dikenal sebagai penghasil sabun berbahan minyak zaitun. M Shatzmiller dalam tulisannya bertajuk al-Muwahhidun, yang tertulis dalam Ensiklopedia Islam terbitan Brill Leiden, juga mengungkapkan betapa pesatnya industri sabun berkembang di dunia Islam.
"Pada 1200 M, di Kota Fez (Maroko) saja terdapat 27 pabrik sabun," jelas Shatzmiller.