Jumat 05 Jan 2018 20:00 WIB

Sekularisme di Dunia Islam

Rep: Heri Ruslan/ Red: Agung Sasongko
Atmosfer bumi (ilustrasi).
Foto: bloggyenarie.blogspot.com
Atmosfer bumi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejatinya Islam tidak pernah mendefinisikan persoalan keagamaan dan politik sebagai dua institusi yang berbeda. Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford, dalam Islam, negara sebagai institusi politik diselenggarakan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan Islam, menjaga ummah, dan menjamin pelaksanaan syariat (hukum Islam).

Meski Islam tak mengenal paham adanya pemisahan antara agama dan negara, dalam perjalanan sejarah, banyak negara berpenduduk Muslim menganut sekularisme. "Sekularisme atau proses sekularisasi berasal dari pengalaman sejarah Eropa," ungkap Esposito. Sekularisme memang berawal dan berakar dari sejarah Kristen di Barat.

Ensiklopedi Islam mendefinisikan sekularisme sebagai suatu aliran atau sistem doktrin dan praktik yang menolak segala bentuk yang diimani dan diagungkan oleh agama atau keyakinan harus terpisah sama sekali dari masalah kenegaraan (urusan duniawi).

Secara bahasa, sekuler berasal dari bahasa Latin, saeculum yang bermakna ganda, yakni 'ruang' dan 'waktu'. Istilah ruang merujuk pada pengertian dunia atau duniawi, sedangkan waktu mengandung pengertian sekarang atau kini. Kata secular akhirnya berkembang menjadi sebuah istilah yang bermakna atau bersifat duniawi atau kebendaan.

Sekularisme berkembang di dunia Barat pada era modern. Pada masa itu, negara-negara di Eropa, khususnya, memisahkan hal-hal yang menyangkut masalah agama dan nonagama. Pemicunya adalah ketidakserasian antara hasil penemuan sains atau ilmu pengetahuan dengan doktrin Kristen.

Pada abad ke-17 dan 18 M, di Barat, berkembang periode sekularisme moderat. Pada masa itu, agama dipandang sebagai masalah individu yang tak berkaitan dengan masalah negara. Memasuki abad ke-19, berkembang sekularisme ekstrem, ditandai dengan munculnya pemikiran materialisme historis Marxisme. 

Pada zaman ini, agama benar-benar menjadi urusan pribadi tanpa campur tangan negara. Bahkan, negara memusuhi agama dan orang-orang beragama. Lalu, bagaimana sekularisme bisa berkembang di dunia Islam?

Adalah Zia Gokalp (1875-1924) seorang sosiolog terkemuka dan politikus nasional Turki yang pertama kali memopulerkan istilah "sekuler" di dunia Islam. Ia menggulirkan perlunya pemisahan antara masalah ibadah serta keyakinan dan muamalah. Sehingga, terjadi pemisahan antara kekuasaan spiritual khalifah dan kekuasaan duniawi sultan di Kesultanan Turki Usmani.

Sekularisme semakin merebak di dunia Islam pada era imperialisme atau penjajahan. Saat itu, negara-negara Islam harus berupaya agar mampu bertahan serta menjaga kemerdekaan atau memperolehnya kembali pada penguasa-penguasa asing.

"Penguasaan budaya sekuler Eropa, khususnya sains (sebagai dasar keahlian militer), dijadikan alat untuk mencapai modernisasi," papar Esposito yang juga guru besar Studi Islam pada Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Akibatnya, sejumlah negara berpenduduk Muslim lebih memilih menerapkan sekularisme dalam mengatur warganya, contohnya Turki.

Di dunia Islam, para ulama dan ilmuwan Muslim memiliki pandangan yang berbeda tentang sekularisme dan sekularisasi. Ulama dan filsuf terkemuka dari Mesir, Sayyid Qutub, mendefinisikan sekularisme sebagai pembangunan struktur kehidupan tanpa dasar agama.

Sehingga, Sayyid Qutub memandang sekularisme bertentangan dengan Islam. Bahkan, menurutnya, sekularisme adalah musuh Islam yang paling berbahaya. Namun, ada pula tokoh Islam yang membedakan sekularisme dan sekularisasi, salah satunya Prof Nurcholis Madjid.

Dalam perkembangannya, masyarakat Muslim ternyata kurang cocok dengan sistem negara sekuler. Tema utama pada edisi ini akan mengupas tentang sejarah dan perkembangan sekularisme di dunia Islam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement