Selasa 26 Dec 2017 22:00 WIB

Bagaimana Mungkin Meninggalkan Palestina Sendirian?

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Bendera Palestina
Foto: AP
Bendera Palestina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usai Perang Dunia II, banyak bangsa di Asia dan Afrika merdeka dari jeratan kolonialisme. Mayoritas mereka menerapkan nasionalisme agar setara dengan mantan penjajahnya sebagai warga dunia yang demokratis.

Menurut mantan wakil menlu Dino Patti Djalal, hingga awal abad ke-21 sebanyak 193 negara sudah diakui kemerdekaannya.Namun, hanya Palestina yang masih harus berjuang melawan kolonialisme warisan abad silam. Mantan dubes RI untuk Amerika Serikat (AS) itu memandang, status Palestina yang demikian menjadi tanggung jawab bersama dunia internasional (Republika, 15/12/2017).

Bagaimana mungkin meninggalkan Palestina sendirian?

Terlebih bagi kita umat Islam. Di sanalah letak tanah suci ketiga setelah Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, yakni Masjid al-Aqsha atau Yerusalem. Kota tersebut pernah mengalami masa yang relatif damai, umpamanya pada zaman Khalifah Umar bin Khaththab (579-644)atau Sultan Shalahuddin al-Ayyubi (1138- 1193). Umat Islam, Kristen, maupun Yahudi dapat memasuki Yerusalem secara leluasa.Namun, saat ini Israel menduduki sebagian besar Yerusalem dan dengan pongah membatasi hak umat Islam untuk beribadah dengan tenang di sana.

Sejarah konflik modern antara Palestina dan Israel dapat dilacak sejak kedatangan gelombang awal imigran Yahudi ke Palestina (aliyah) pada 1882. Aliyah pertama ini pada mulanya diikuti orang-orang Yahudi yang hendak mencari peruntungan di Yerusalem.

Kesempatan ini terlaksana berkat kebijakan inklusif Kesultanan Utsmaniyah yang menguasai wilayah Palestina saat itu. Sultan mengizinkan komunitas Yahudi untuk bermukim dan bekerja di Palestina melalui suatu kebijakan pada 1816. Dampaknya, populasi Yahudi cenderung meningkat. Jumlah imigran Yahudi dalam aliyah pertama ditaksir tidak lebih dari 35 ribu jiwa. Mayoritasnya berasal dari Eropa Timur dan Yaman.

Jumlah tersebut mengalami pasang surut. Namun, seiring dengan melemahnya Kesultanan Utsmaniyah pada 1917, populasi Yahudi di Palestina membengkak hingga 512 ribu jiwa. Mereka tidak sekadar men cari penghidupan yang layak, melainkan juga membawa ideologi zionisme politik yang bertendensi penjajah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement