Jumat 22 Dec 2017 18:00 WIB

Hiburan, Boleh-Boleh Saja

Rep: Yusuf Assidiq/ Red: Agung Sasongko
Kegiatan seni musik di Yayasan Pendidikan Bina Ilmu (ilustrasi)
Foto: ROL/Havid Al Vizki
Kegiatan seni musik di Yayasan Pendidikan Bina Ilmu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Masyarakat kian dimanja aneka hiburan. Cobalah tengok di kota-kota besar. Segala bentuk sarana hiburan tersedia. Mau berbelanja santai, ada mal megah di mana-mana. Bagi yang gandrung menonton film terbaru, banyak yang melenggang ke gedung bioskop. Atau ingin mendengarkan musik, mereka pergi ke kafe atau tempat lain.

Hiburan juga tersaji di rumah. Ada seperangkat teknologi maju yang siap melayani kebutuhan si empunya. Nonton televisi, mendengarkan tape dan radio, bermain komputer, bisa dilakukan kapan saja. Semua itu bisa menghadirkan kesenangan maupun kegembiraan.

Maka itu, hampir sebagian besar sarana hiburan jarang sepi peminat. Tak heran jika pelaku industri hiburan terus berlomba memberikan produk-produk baru agar menarik perhatian masyarakat. Umat Muslim tak luput dari fenomena ini. Sejatinya, mencari hiburan dan kegembiraan telah melekat pada umat sejak awal kelahiran Islam. 

Menurut Yusuf Al-Qaradhawi dalam bukunya Halal dan Haram, pada masa Nabi Muhammad SAW, mendengar puisi, musik, atau bermain, menjadi bagian hidup. Bergembira tidaklah tabu dalam Islam. Saat itu umat tak hanya menjalani rutinitas ibadah. Mereka juga menjalani kegiatan yang membawa kegembiraan.

Rasulullah sendiri bukan sosok yang kaku. Beliau sangat cinta kepada kegembiraan dan apa saja yang dapat membawa pada kegembiraan itu,” ujar Al-Qaradhawi. Namun demikian, ada panduan yang ditetapkan Rasulullah dalam berhibur. Demikian pula pada bermusik dan menyanyi.

Sebuah hadis riwayat Bukhari dan Muslim menyatakan, pada hari Idul Adha, Abu Bakar pernah menjumpai Rasulullah di kediaman Aisyah. Saat itu, di samping Aisyah ada dua gadis yang sedang bernyanyi dan memukul gendang. Abu Bakar lantas mengusir kedua gadis itu.

Namun Rasulullah mencegah Abu Bakar dan berkata, Biarkanlah mereka itu, hai Abu Bakar. Sebab, hari ini adalah hari raya (hari bersenang-senang).” Dalam hal ini, Imam Al-Ghazali berpendapat, berdasarkan hadis-hadis yang ada, nyanyian dan permainan bukanlah haram.

Kalaupun ada hadis yang melarang nyanyian, sambung Al-Qaradhawi, semuanya memiliki kecacatan. Ia mengungkapkan, pada perkembangannya banyak sekali nyanyian dan musik yang disertai perbuatan tercela, seperti minum arak dan perbuatan haram lainnya. Itulah yang oleh para ulama dianggap haram,” jelasnya.

Al-Qaradhawi kemudian mencuplik hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa semua perbuatan itu harus diserta dengan niat. Tiap-tiap orang akan dinilai menurut niatnya. Dalam menafsir hadis ini, ia menegaskan, orang yang mendengarkan nyanyian atau musik dengan niat bermaksiat pada Allah, maka dia fasik.

Tapi, mereka yang punya niat menghibur hati supaya bisa terus berbakti kepada Allah, maka dia adalah orang yang taat dan berbuat baik,” papar ulama besar itu. Singkat kata, nyanyian harus diposisikan untuk tidak bertentangan dengan etika Islam. Demikian pula pada jenis hiburan yang lainnya, semisal menonton film di bioskop.

Al-Qaradhawi mengakui masih banyak pertanyaan seputar pandangan Islam pada bioskop atau sandiwara. Ia berpendapat, film dan bioskop dapat dipergunakan untuk hal-hal yang baik dan yang tidak baik. Menurut dia, biskop sendiri tidak bermasalah. Status hukumnya bergantung pada penggunaannya.

Sehingga, ia sepakat untuk tak melarang Muslim ke bioskop. Asalkan, tema film yang ditayangkan bersih dari suguhan kemaksiatan, kefasikan, dan semua yang bisa meruntuhkan akidah. Pun umat diminta untuk tidak melupakan kewajiban agama, seperti shalat lima waktu, atau tidak berbuat maksiat saat menonton di bioskop.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement