REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ratna Ajeng Tejomukti
Meyakini agama yang dibawa sejak lahir tak membuat Agustina Sri Kumardani Paningrum (44 tahun) merasa tenang. Sedikit demi sedikit kegelisahan batin muncul mempertanyakan apakah yang diimaninya sudah benar.
Apakah harus terus menjalankan keyakinan yang bermuara pada keresahan dan banyak pertanyaan di hati. Jika perasaan seperti itu terus dibiarkan maka yang ada hanyalah pertanyaan tanpa jawaban yang memuaskan dahaga spiritual.
Ketika kecil dia tidak memperma salahkan keimanan yang dipegangnya. Agustina ketika itu tumbuh dalam keluarga yang taat. Orang tuanya selalu membimbing anak-anak untuk berpegang teguh pada keyakinan yang dianut. Guru agama didatangkan khusus untuk mendidik Agustina dan saudara kandungnya hingga dewasa.
Meski demikian, ketika beranjak dewasa, wanita kelahiran Pati Jawa Tengah itu tetap merasakan ada sesuatu yang harus digapai untuk menenangkan batin. Sesuatu itu mampu membawa keintiman bersama Ilahi yang membuat Agustina hanyut dalam ketawadhuan bahwa dirinya tak ada apa-apanya di mata Ilahi Rabbi.
Islam bukanlah hal baru bagi Agustina. Meskipun kedua orang tuanya nonmuslim, dia merasa dekat dengan keluarganya yang Muslim karena sering berinteraksi. Agus tina mengenal Islam lebih dekat ketika tinggal bersama eyangnya yang Muslim saat sedang menempuh pendidikan sarjana di Malang, Jawa Timur.
Sang kakek mengenalkan sekilas tentang Islam. Selanjutnya, Agustina mendalami ajaran tersebut secara autodidak pada 1996. Tak hanya dari eyangnya, dia juga sering mempelajari Islam dari teman kuliahnya. Karena itu, dia tak asing melihat ritual Islam dan berbagai literatur tentang Islam di rumah keluarga. Bahkan dia sedikit mampu membaca kalimat Arab, seperti bacaan shalat dan doa-doa. Saudara saya sempat terkejut. Bagaimana mungkin saya yang ketika itu non-Muslim mampu melafalkan kalimat Arab, kata Agustina ketika dihubungi Republika, Rabu (13/12).
Menurut dia, membaca kalimat berbahasa Arab saat itu terasa mudah. Mempelajari bahasa dari Timur Tengah itu tak jauh berbeda dengan melafalkan kalimat dalam budaya asing lainnya. Semua itu diraihnya karena usaha dan belajar yang terus-menerus.
Lagi pula, Agustina tidak eksklu psif. Dia terbiasa dengan ritual agama lain yang selalu dilihatnya dalam kese harian. Baginya, saat masih memeluk agama terdahulu, baik Islam maupun agama yang dianutnya ketika itu memiliki beberapa ajaran yang mirip, yakni cinta-kasih.
Cinta dalam Islam bukan semata-mata ingin memiliki. Lebih dalam lagi, cinta adalah pengorbanan dan selalu mem berikan yang terbaik untuk yang disayangi. Cinta kepada Sang Pencipta di wujudkan dengan ketaatan dan konsistensi dalam beribadah kepada-Nya tanpa berharap apa pun.
Islam memiliki ajaran yang konsisten dalam keesaan Tuhan. Sekilas dia melihat sederhana, tapi setelah mendalaminya, Agustina memahami bahwa ajaran ini sangat menyeluruh karena Islam menga rahkan penganutnya untuk menjalani hidup yang tetap berpegang pada nilai keagamaan mulai dari nmembuka mata pada pagi hari hingga tidur pada malam hari.
Islam mengajarkan cara hidup, bukan hanya beribadah menyembah Tuhan. "Islam mengatur semua itu, bahkan kehidupan bernegara dan berpolitik pun Islam memiliki ajarannya,"ujar dia.
Meski mulai memahami risalah Ilahi tersebut, Agustina tak langsung bersyahadat. Dia belum merasa perlu untuk memeluk Islam, hingga pada suatu malam dia bermimpi. "Saat itu saya bermimpi sedang bersama teman. Tiba-tiba datang pemuda tampan yang mengajak teman saya ke suatu tempat. Saya memintanya untuk ikut, tetapi pemuda tersebut berkata jika dia ingin ikut bersamanya maka dia harus mengucapkan syahadat," katanya.
Setelah terbangun, dia menceritakan mimpi itu kepada teman dan kekasihnya yang kini mendampingi kehidupan. Namun, dia tidak menjelaskan secara jelas. Agustina justru dibiarkan mencari maksud mimpi itu seorang diri.
Hingga satu ketika di pengujung kuliah, ada perasaan yang berbeda. Saat ber ibadah biasanya dia adalah orang yang sangat berkonsentrasi. Namun, pada suatu malam, dia tak dapat berkonsentrasi, bahkan terasa tidak nyaman. Berdiri berlama-lama untuk berdoa pun rasanya tidak nyaman.
Keresahan yang dirasakan diutarakan kepada teman-temannya. Ketika itu dia merasa sudah waktunya untuk ber-Islam. Pada Oktober 1996, dia kemudian mengucapkan syahadat untuk pertama kalinya.
Sudah 20 tahun wanita asal Jawa Tengah ini memeluk Islam. Ibu tiga orang ini tidak mudah meyakinkan keluarga atas pilihan agamanya. Sejak memeluk Islam, hanya beberapa orang saja dari keluarga yang mendukungnya. Wanita yang memiliki nama Lengkap Agustina Sri Kumardani Paningrum harus hijrah jauh dari keluarga karena perbedaan keyakinan.
Tak Diakui Anak
Tak mudah untuk memberitahu kedua orang tuanya setelah Agustina menjadi mualaf. Kekecewaan adalah hal pertama yang harus dihadapi saat mereka mengetahui pilihannya. "Saya harus siap dengan konsekuensi saat itu. Bapak saya dengan tegas tidak mengakui saya sebagai anak karena pilihan agama," kata dia mengenang masa lalu.
Kedua orang tuanya bertanya-tanya alasan dia memilih memeluk Islam. Agustina meyakinkan bahwa keputusan besar itu bukan karena dia berpacaran dengan pria Muslim. Ini murni pilihan sendiri karena keyakinannya ter- hadap Islam. Saat menjadi Muslim dia merasa lebih tenang dan damai.
Bapak dan adik-adik mengacuhkannya dan tak pernah berbicara dengannya. Kehidupannya tidak lagi ditopang oleh ayahnya. Agustina terpaksa harus membiayai hidup sendiri. Sebenarnya dia sudah mendapatkan pekerjaan di Pati, tetapi karena memilih menjaga perasaan kedua orang tua, dia memilih untuk tidak tinggal bersama mereka.
Agustina memutuskan hijrah ke Jakarta. Dia tinggal bersama dengan saudaranya. Di Jakarta jugalah dia mendapatkan pekerjaan. Tak lama sekitar tujuh bulan bekerja, dia pun menikah. Dia bersyukur setelah menikah keluarga mertuanya mau membiayai segala kebutuhan mereka. Ini merupakan keberkahan setelah dia memeluk Islam. Muslimah satu ini merasakan, ketika ada kesulitan Allah selalu memberikan kemudahan.
Menikah menjadi pilihannya. Karena saat itu dia merasa tidak ingin menjadi beban saudaranya. Lagi pula Agustina merasa sudah saatnya dia hidup mandiri. Selama tinggal bersama saudara di Jakarta, dia mendalami Islam, istri saudaranya memiliki pemahaman agama dan pintar mengaji. Dia pun belajar mengaji Alquran dari saudaranya.
Meskipun Agustina menikah, hubungan dengan kedua orang tuanya belum juga membaik. Baru ketika anak pertamanya lahir, hubungan mereka mulai mencair. "Saat itu saya melahirkan anak pertama, apalagi bapak saya baru kehilangan adik bungsu saya yang meninggal dunia, hubungan kami dengan bapak mulai membaik," katanya.
Ujian kedua
Meskipun sejak lama tak berkomunikasi, sikap keluarganya tetap dingin. Namun, Agus tina tetap menjaga hubungan baik dengan mereka. Balasan yang didapat tidak mengenakan. Agustina harus menghadapi komentar pedas dan rasa tak suka dari saudara. Apalagi, dia dan keluarganya ada yang satu pekerjaan. "Saudara saya selalu mencari-cari kesalahan saya saat bekerja, kemudian dengan komentar pedasnya selalu membawa-bawa agama saya," ujar dia.
Namun, Agustina hanya menganggap itu seperti angin lalu. Lagi pula dia masih mendapat dukungan dari rekan-rekannya yang Muslim dan juga suaminya. Dia bersyukur telah dikaruniai tiga anak pandai. Apalagi, anak pertamanya saat ini sedang menempuh pendidikan sarjana di Universitas Padjajaran. Demikian juga kedua anak lainnya yang kini berada di sekolah menengah pertama. Dia berharap buah hatinya tidak mengalami ujian berat seperti yang dialaminya.
Saat ini, Agustina hanya berharap dapat selalu istiqamah dalam keislaman. Dia yakin hanya Islam yang membuat hidup, hati, dan keluarganya damai dan bahagia.