REPUBLIKA.CO.ID, Peringatan Maulid Nabi bagi umat Islam adalah momentum yang hanya satu tahun sekali terjadi untuk mengenang hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Meskipun Nabi Muhammad SAW tidak pernah memerintahkan, namun bagi umatnya yang haus akan syafaat ini dapat menjadikan hari Maulid Nabi sebagai hari pemersatu untuk kembali saling mengingatkan bagaimana Nabi dilahirkan dan Nabi menjalani hidupnya.
"Banyak aspek yang harus kita jadikan (contoh) dari pribadi Rasulullah sebagai teladan untuk hidup kita pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," kata Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Assidiqie kepada Republika, Rabu (29/11).
Terutama, ujar Jimly, mencontoh akhlak Rasulullah dan menjadikannya sumber keteladanan. Karena, sambung Jimly, bagaimana mungkin bisa menegakkan hukum yang adil dan berkeadilan jika dalam kehidupan bermasyarakat saja tidak meneladani akhlak Rosulullah.
"Maka, makna maulid dari tahun ke tahun terutama tahun ini mari kita tekankan pentingnya keteladanan meneladini dan menjadikan diri kita masing-masing sebagai teladan bagi orang lain di sekitar kita. Terutama dalam mempraktikkan akhlak mulia menurut ukuran agama," ungkap Jimly.
Dalam kehidupan bermasyarakat seperti saat ini, sambungnya, di mana teknologi, informasi dan komunikasi menjadi hal yang bebas sehingga sangat penting untuk menjaga akhlak pribadi di mana pun seseorang itu berada. Misalnya, dalam berkomunikasi dengan orang lain, dan menjadikan Islam sebagai rahmat sebagai kebaikan bagi semua.
Bukan hanya rahmat bagi diri sendiri, keluarga, tapi juga bagi masyarakat dan sesama manusia, bahkan juga bagi sesama makhluk hidup di alam semesta. "Karena yang diajarkan Alquran dan sunah Rasul, Islam adalah rahmatan lil alamin," terangnya.
Akhlakpun, ungkap Jimly, harus dikonkritkan menjadi adab. Kenapa? Karena menurut dia, akhlak adalah suatu yang abstrak komplek dan sarat dengan filosofi sehingga perlu dikonkritkan dipraktikkan menjadi adab.
Misalnya adab dalam bertutur kata, adab dalam mendengar, adab dalam berpakaian, adab dalam bekerja secara profesional, dan adab menjadi seorang pemimpin. Yang mana semuanya itu harus bersumber pada tauladan Rosulullah.
"Misalnya, kalau punya jabatan jangan melihat jabatan itu dari segi halal haram, melihat pekerjaan apa saja jangan hanya dari segi halal-haram, benar-salah, neraka-surga, tapi lihat juga dari baik buruknya," ucap Jimly.
Sama halnya dalam berkeluarga, tutur dia, jangan hanya melihat halal haram. Bercerai dari pasangan memang halal, akan tetapi Allah pun tidak suka dengan perceraian, artinya hal tersebut tidak baik.
"Makanya, kita beragama jangan hanya halal-haram melupakan toyyib atau tidaknya. Kalau halal-haram itu syariah tapi akhlak bicaranya subtansif baik-buruk. Makanya harus seimbang," ujar Jimly.
Begitupun saat menjadi seorang pemimpin, menurut Jimly, apabila jabatan yang diamanahkan yang embannya itu justru menimbulkan masalah bagi banyak orang akan lebih jika dilepaskan. Walaupun secara hukum dia legal halal, namun baik buruk itu juga perlu diperhatikan untuk kebaikan bersama dan untuk menyelamatkan institusinya.
Misalnya ,seseorang menduduki jabatan, perspektifnya hanya legalitas saya ini sedang diproses hukum, saya kan belum salah. Secara hukum saya baru bersalah jika sudah diputus inkrah. Itu halal-haram tapi baik buruknya bagaimana? Ini tidak baik karena sudah tersangka harusnya mundur untuk menyelamatkan nama baik institusi tempatnya bekerja. "Itu akhlak," beber Jimly mencontohkan.
Intinya, tambah Jimly, terus menjadikan Rasulullah sebagai teladan dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara. Serta tidak hanya memandang sesuatu dari halal dan haram namun juga dampak baik dan buruknya yang mungkin ditimbulkan.
Dalam beragama juga begitu bukan hanya syariah saja halal haram tapu baik buruknya tidak diperhatikan secara seimbang. "Ayat Quran itu selalu berpasangan, halalan-toyyiban," ujar Jimly.