REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof Din Syamsudin menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyantumkan penghayat kepercayaan di kolom agama pada KTP dinilai sebagai proses yang diam-diam. Menurut dia, untuk memutuskan hal yang bersifat sentral dan menyangkut Undang-undang, seharusnya MK berkomunikasi dengan instansi pemerintah terkait untuk memberikan pandangannya.
"Bahkan Menteri Agama saja mengakui, bahwa pihaknya tidak tahu dan tidak juga diundang untuk, memberi kesaksian dan pandangannya dalam sidang MK kemarin. Ini seperti proses yang diam-diam," ungkap Din di THE 101, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, kemarin.
Terkiat aliran kepercayaan, kata Din, sebenarnya telah memilki kesepakatan nasional melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 yang menyebut aliran kepercayaan bukan agama. Karena itu, dengan disahkan Undang-undang Administrasi Kependudukan (Adminduk) yang mengakomodasikan penghayat kepercayaan dalam kolom agama berpotensi menyalahi aturan karena mengabaikan kesepakatan.
"Lalu soal tafsir UUD 1945 pasal 29 itu bebas menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan. Namun pasal itu mengsyaratkan itu hanya agama, lalu apakah mereka (penghayat kepercayaan) adalah agama?" jelas Din yang juga menjabat sebagai utusan khusus Presiden RI untuk dialog dan kerjasama antaragama dan peradaban.
Karena itu dia meminta semua pihak, untuk mencermati hal tersebut. Sehingga, ke depan tidak akan menimbulkan kegaduhan nasional.