Kamis 16 Nov 2017 15:58 WIB

Soal Penghayat Kepercayaan, Ketum MUI: MK Salah Merespons

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof KH Ma'ruf Amin memimpin rapat Ukhuwah Islamiyyah MUI bersama Kemendikbud untuk membahas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Aliran Kepercayaan di Gedung MUI, Kamis (16/11).
Foto: Republika/Muhyiddin
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof KH Ma'ruf Amin memimpin rapat Ukhuwah Islamiyyah MUI bersama Kemendikbud untuk membahas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Aliran Kepercayaan di Gedung MUI, Kamis (16/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof KH Ma'ruf Amin mengatakan bahwa sebenarnya penghayat kepercayaan di Indonesia tidak meminta untuk dijadikan agama. Tapi, menurut dia, mereka hanya meminta dimasukkan ke dalam KTP lantaran hak-haknya selama ini belum terpenuhi.

Karena itu, menurut Rais Aam PBNU ini seharusnya pemerintah saat ini tinggal memunuhi hak-hak mereka saja. "Menurut saya MK itu salah merespon. Sebenarnya kalau hak-hak saja tidak perlu masuk dalam KTP, kan begitu. Bagaimana hak-haknya saja dipenuhi," ujarnya saat menggelar Rapat Ukhuwah Islamiyyah bersama Kemendikbud di Gedung MUI, Kamis (16/11).

(Baca juga: Mendagri: Belum Ada Putusan Soal Aliran Kepercayaan di KTP)

Misalnya, lanjut Kiai Ma'ruf, pemerintah bisa membuatkan beberapa aturan baru untuk memenuhi hak-hak mereka. Saat mereka ingin menjadi pegawai, maka pemerintah bisa memenuhi hak-haknya, termasuk juga saat mereka meminta lokasi pemakaman pemerintah juga bisa memnuhi.

"Dibuat aturan, ditugaskan kepada siapa, formnya kalau dia mau menjadi pegawai diubah, kalau minta pemakaman dikasih pemakaman. Mungkin penyelesaiannya begitu," ucapnya.

Sementara, jika aliran kepercayaan tersebut dimasukkan ke dalam KTP atau pun KK, maka akan membuat rancu kesepakatan politik yang telah dibuat selama ini bahwa kepercayaan bukan lah agama. "Ketika masuk kepada KTP. Nah itu tadi saya bilang, ini identitas itu makamnya agama. Kepercayaan itu, bukan makam agama. Tidak sebanding, sehingga tidak perlu menjadi identitas," katanya.

Karena itu, ia menegaskan kembali bahwa seharusnya respon MK bukan dengan memasukkan aliran kepercayaan ke dalam KTP, tapi hak-hak mereka cukup dipenuhi oleh Kemendagri, Kemendikbud atau lembaga pemerintah lainnya.

"Yang penting hak dasarnya itu terpenuhi. Jadi kalau menurut saya, MK Itu salah merespon, sehingga merusak tatanan yang sudah ada. Jadi kesepakatan politik yang sudah bisa dicapai, justru sekarang menjadi rancuh lagi, menjadi gaduh lagi," jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement