Selasa 31 Oct 2017 18:50 WIB

Indonesia yang Bukan-Bukan dan Kesaktian Pancasila

Rep: Muhyiddin/ Red: Agus Yulianto
Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir (Tengah) saat menjadi pembicara dalam dalam Halaqah Nasional Ulama Pesantren Dan Cendekiawan Gerakan Dakwah Aswaja Bela Negara di Ponpes Al Hikam, Beji, Depok, Senin (30/10) malam.
Foto: Muhyiddin / Republika
Wakil Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir (Tengah) saat menjadi pembicara dalam dalam Halaqah Nasional Ulama Pesantren Dan Cendekiawan Gerakan Dakwah Aswaja Bela Negara di Ponpes Al Hikam, Beji, Depok, Senin (30/10) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Halaqah Nasional Ulama Pesantren dan Cendekiawan Gerakan Dakwah Aswaja Bela Negara II telah selesai digelar di Pondok Pesantren Al Hikam, Beji, Depok, Selasa (31/10). Selama tiga hari pelaksanaan halaqah ini, sekitar 100 ulama dan cendikiawan merumuskan berbagai isu keagamaan dan kenegaraan.

Kegiatan ini juga menghadirkan beberapa tokoh pemerintahan dan juga kiai sepuh untuk dijadikan pembicara, sehingga antara negara dan agama terjadi simbiosis mutualisme dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang rukun dan damai.

Dalam satu sesi, kiai sepuh dari Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir menjelaskan tentang hubungan agama dan negara. Dia mengatakan, bahwa Indonesia didirikan berdasarkan Pancasila, sehingga Indonesia disebut sebagai negara yang bukan-bukan, bukan negara Islam, maupun negara sekuler.

"Indonesia dengan Pancasila sebagai dasaranya sering kita dengar bahwa negara ini bukan negara Islam, terutama Pak Harto dulu sering mengatakan Indonesia bukan negara agama tapi bukan negara sekuler, berarti negara bukan-bukan," ujarnya saat menjadi pembicara halaqah tersebut, Senin (30/10) malam.

Ia menuturkan, berdasarkan hasil keputusan deklarasi Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983 dikatakan bahwa Pancasila bukanlah agama dan tidak dapat menggantikan agama. Dalam Munas itu diputuskan bahwa sila pertama ketuhanan yang maha esa merupakan cerminan akidah dalam keimanan umat Islam.

"Sering dikatakan bahwa Pancasila bukan syariat, akan tetapi tidak bertentangan dengan syariat, bahkan selaras dengan syariat. Bahkan, kadang-kadang ada yang mengatakan bahwa Pancasila adalah syariat itu sendiri," ucapnya.

Dengan demikian, ada tiga kategori dalam menafsirkan Pancasila. Namun, menurut Kiai Afif, tidak terlalu penting untuk memperdebatkan hal itu, yang jelas menurutnya Pancasila sejauh ini memang sakti.

"Berdebat tentang ini tidak terlalu penting tapi yang penting bahwa Pancasila ini memang benar-benar sakti. Karena bisa menyatukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, golongan, agama, dan seterusnya, benar-benar sakti," katanya.

Dengan adanya Pancasila, menurut dia, umat Islam bisa menerima dengan ikhlas dan orang-orang sekuler juga bisa menerima Pancasila. Walaupun, kata dia, pada awalnya kaum sekuler dan kaum Muslimin sempat berbeda pendapat, yang Muslim menginginkan negara ini berdasarkan Islam, yang sekuler menginginkan negara ini berdasarkan sekularisme.

"Andai kata perdebatan itu tak selesai, barangkali sampai saat ini Indonesia belum lahir. Tapi Alhamdulillah bisa dipertemukan dengan Pancasila," jelas Mantan Wakil Khatib Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) ini.

Ia menambahkan, kaum sekuler menerima Pancasila karena yang penting bagi mereka bukan agama yang dijadikan dasar negara. Sementara, kaum Muslimin menerima Pancasila karena tidak bertentangan dengan syariat atau sesuai dengan syariat atau bahkan Pancasila adalah syariat itu sendiri.

"Bahwa Indonesia dikatakan bukan daulah Islamiyah atau bukan negara Islam tidak persoalan, karena apa arti sebuah nama. Akan tetapi saya punya keyakinan NKRI ini potensial sekali untuk menjadi negara yang Islami," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement