REPUBLIKA.CO.ID, Tenaga medis perempuan diakui kemampuannya. Mereka mendapatkan tugas yang tak kalah penting dari sejawatnya, laki-laki. Ini disebabkan oleh upaya mereka untuk terus meningkatkan pengetahuan dalam medis dan dukungan pemerintah Islam. Kebijakan ini terlihat saat pemerintahan Usmani.
Pemerintah mengizinkan sekolah kedokteran di Universitas Istanbul menerima murid perempuan untuk menjadi dokter, perawat, maupun bidan. Praktisi medis sebagai profesi yang ditekuni perempuan berkembang pesat di wilayah-wilayah Islam. Mereka yang mempraktikkan pengobatan tradisional mendapatkan pembinaan.
Terutama mengenai kemajuan-kemajuan yang telah dicapai dalam bidang medis. Pada abad ke-19, beberapa mahasiswa kedokteran dikirim ke Eropa. Beberapa nama terkemuka menghiasi khazanah dunia medis Islam, antara lain Irini Anopiloiti yang lulusan Paris Medical School dan Amade Taylul dari sekolah medis di Inggris.
Seperti diuraikan sejarawan Raphaela Lewis, pada awalnya, tidak sedikit keraguan di sebagian kalangan terhadap kemampuan tenaga medis perempuan. Di rumah sakit, masyarakat biasanya minta ditangani oleh dokter laki-laki. Masalah itu terjadi ketika kaum perempuan belum mendapat pendidikan kedokteran formal.
Seiring perubahan kebijakan di lingkup pendidikan medis, masyarakat memberikan apresiasi tinggi bagi kiprah kaum wanita di lapangan kesehatan, kata Raphaela. Dengan kian banyaknya tenaga kesehatan terdidik, berangsur menggantikan peran para tenaga medis tradisional di beberapa wilayah.
Seiring waktu berlalu, keahlian mereka pun sangat menunjang karier di bidang ini karena kepercayaan yang tinggi untuk berkiprah di rumah sakit cukup besar, bahkan istana. Pada abad-abad sebelumnya, sudah banyak tokoh perempuan yang berhasil mengukir prestasi gemilang.
Sejumlah dokumen medis dari tahun 1622 mencatat nama Saliha Hatun. Dia adalah dokter perempuan berprestasi, bahkan dipercaya menangani tindakan operasi. Tercatat sebanyak 21 pasien yang berhasil dioperasi, mulai dari operasi pengangkatan tumor hingga hernia.