REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nasib lembaga pendidikan Islam di Myanmar tidaklah seberuntung di Singapura. Meski sama-sama berstatus sebagai negara mayoritas nonMuslim, perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap institusi pendidikan Islam sangat kontras jika dibandingkan dengan yang terjadi di Singapura.
"Di negara kami (Myanmar), madrasah-madrasah sepenuhnya hidup dari donasi umat Islam, baik donasi yang datang dari dalam maupun luar negeri. Tidak ada sedikit pun bantuan atau apresiasi dari pemerintah," ungkap Koor di nator Bidang Kesejahteraan Sosial Institut Agama Islam alAzhar Myanmar Chit Ko Ko Oo, belum lama ini.
Dia menuturkan, jumlah masjid di Myanmar tercatat lebih dari 3.000 unit. Sebanyak 1.238 di antaranya berada di Negara Bagian Rakhine—yang saat ini tengah dilanda konflik rasial antara Pemerintah Myanmar dan komunitas Rohingya. Sebagian masjid tersebut memiliki madrasah yang menjadi tempat belajar anak-anak Muslim Myanmar setiap harinya. "Sedikitnya 759 madra sah di selu ruh wilayah Myanmar. Keba nyakan dari sekolahsekolah ini menggunakan bahasa Urdu sebagai bahasa pengantar," ujar Ko Ko Oo.
Dia mengungkapkan, sebagian madrasah di Myanmar sudah beroperasi sejak sebelum negara itu didirikan. Meski demikian, perhatian pemerintah setempat terhadap institusi Islam tersebut sangatlah minim. Sebagai buktinya, sampai hari ini para lulusan madrasah masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak di Myanmar. Kebanyakan dari mereka hanya menjadi masyarakat ber penghasilan rendah di negaranya.