Ahad 22 Oct 2017 16:13 WIB

KH Noer Ali, Santri dan Pahlawan Nasional Asal Bekasi

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Agus Yulianto
KH Noer Alie
Foto: blogspot
KH Noer Ali

Kiai Noer Ali memiliki teknik tersendiri dalam memenangkan bangsanya. Bukan senjata yang membuatnya dinobatkan sebagai pahlawan, namun ilmu yang disebarkannya serta semangat patriotisme yang dia selipkan dalam setiap pergelaran majlis ilmu yang dipimpinnya. Setelah pulang menuntut ilmu dari Makkah pada 1940, Kiai Noer Ali kemudian berusaha mendirikan pesantren di kampung halamannya yang bertujuan untuk memajukan umat dari keterbelakangan yang mereka alami.

Akhirnya pada 1956, Kiai Noer Ali berhasil mendirikan Yayasan Pembangunan, Pemeliharaan dan Pertolongan Islam (YP3) di kampung Oejung Malang, yang kini dikenal sebagai Ujung Harapan, Desa Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, tempat kelahirannya. Pada 17 Desember 1986, Yayasan tersebut berganti nama dengan Yayasan Attaqwa atau Pondok Pesantren Attaqwa yang terkenal hingga kini. Pondok Pesantren At-Taqwa menyediakan pendidikan tingkat menengah pertama (Tsanawiyah) dan tingkat menengah atas (Aliyah). Kiai Noer Ali sengaja memisahkan gedung pesantren antara santri putra dan putri dengan jarak sekitar700 meter, dan masih tetap dipisah hingga sekarang.

Dalam membangun pesantren ini Kiai Noer Ali juga mempunyai ciri-ciri tersendiri. Salah satu cirinya adanya pesantren yang berbaur dengan masyarakat (orang kampung) atau pesantren terbuka. Pesantren terbuka dibangun dengan tujuan membentuk masyarakat yang madani, mengingat saat itu Oejung Malang adalah wilayah pelosok yang termarginalkan baik dari sisi peradaban dan pendidikan sehingga masih banyak warga yang belum dapat membaca, menulis hingga mengaji. Melaui pesantren itu, Kiai Noer Ali berharap agar para santrinya dikemudian hari menjadi kader umat yang kaffah, yakni pintar dan terampil. Saat menyampaikan nasihat kepada santri-santrinya, Kiai Noer Ali selalu berpesan,

"Jangan sekali-sekali santri Kiai Noer hanya pintar tapi tidak benar. Jadilebih baik benar dulu baru pintar. Kalau pintar tapi gak benar, bila pada suatuhari jadi pejabat, maka dia menjadi pejabat yang korupsi," ucap Sekretaris Biro Hukum Pondok Pesantren Attaqwa, Muhtadi Muntaha kepada Republika.co.id.

Muhtadi menceritakan, Kiai Noer Ali juga dikenal dengan sosok Kiai yang moderat. Sikap ini dia perlihatkan dengan mempersilakankan para santrinya melakoni profesi hidup apapun dengan syarat dilakukan dengan tujuannya semata untuk mengharap ridha Allah SWT. Kiai juga selalu berpesan agar setiap pekerjaan yang dijalankan santri-santrinya kelak harus tetap berpacu pada garis agama agar Allah SWT selalu menaungi kehidupan kita dengan keberkahan.

Gelar pahlawan nasional yang diraih Kiai Noer Ali tentu didasari oleh pengakuan atas perjuangan yang dilakoni Kiai Noer Ali dalam membela negara kelahirannya, Indonesia. Saat masa penjajahan, Kiai Noer Ali mendapat julukan dari orang Belanda, yaitu si belut putih. Julukan tersebut ditujukan kepadanya karena sangat sulit ditangkap oleh tentara Belanda.

Salah satu kejadian yang disampaikan Muhtadi adalah ketika pada suatu waktu Kiai Noer Ali memasuki masjid. Melihat kiai di dalam masjid para opsir Belanda yang bersenjata segera mengepung masjid dan menunggu di luar masjid, tempat sandal Kiai Noer Ali berada. Namun setelah menungga lama, ternyata para opsir Belanda itu terkecoh karena saat mereka memeriksa ke dalam masjid, Kiai Noer Ali sudah pergi meninggalkan masjid tersebut.

"Jadi beliau punya keunikan tersendiri, tapi bukan mistik. Artinya, ya mungkin karena beliau punya staretegi melarikan diri serta dipayungi kebesaran Tuhan. Karena susah ditangkap, maka dia dijuluki sebagai 'belut putih'," jelas Muhtadi.

Pondok Pesantren Attaqwa yang dibangun Kiai Noer Ali mempunyai dua perguruan tinggi, yaitu perguruan tinggi modern Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Attaqwa, dan perguruan tinggi tradisional Pesantren Tinggi Attaqwa (PTA), yaitu perguruan tinggi yang khusus mempelajari kitab klasik pesantren. Pelajaran kitab klasik tersebut terus dipertahankan oleh penerusnya yang menjadi pengasuh Pondok Pesantren tersebut, karena PTA termasuk peninggalan Kiai Noer Ali yang membedakan dengan perguruan tinggi yang lain.

"Kitab kuning tidak boleh ditinggalkan, karena kultur Kiai juga kultur NU tap ibukan NU. Kiai Noer ini unik. Kulturnya dan tata ibadahanya memang ala NU, tapi bukan orang struktur NU pak kiai itu," kata Muhtadi.

Animo masyarakat untuk belajar di pesantren tertua di Bekasi ini selalu membludak setiap tahunnya, sehingga, dengan tidak mengiklankannya pun sudah banyak santri yang ingin belajar di Pondok Pesantren Attaqwa. Saat ini, sudah ada ratusan ribu santri yang telah lulus dari pesantren Attaqwa, dan banyak di antaranya memiliki peran penting di kehidupan masyarakat, entah sebagai tokoh agama seperti ustaz bahkan kiai, pejabat, pengusaha dan berbagai profesilainnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement