REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nama ulama legendaris ini harum khususnya di tengah masyarakat Betawi. Dialah KH Noer Ali. Pria kelahiran Bekasi, 15 Juli 1914, itu termasuk Pahlawan Nasional sejak 2006 lalu.
Mubaligh yang wafat pada 29 Januari 1992 itu tenar dengan julukan "Singa Karawang-Bekasi." Buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011) menjelaskan, KH Noer Ali lahir di Ujung Malang (kini bernama Ujung Harapan), Bekasi. Keluarganya bermata pencaharian tani.
Ayahnya bernama H Anwar bin Layu, sedangkan ibunya adalah Hj Maemunah. Sejak kecil, Noer Ali memiliki semangat untuk mendalami ilmu-ilmu agama. Ketika berusia delapan tahun, dia mulai belajar mengaji pada Guru Maksum di Kampung Bulak. Tiga tahun kemudian, dia mengkaji ilmu tata bahasa Arab, tauhid, dan fiqih dari Guru Mughni.
Ketekunannya semakin menebal. Memasuki usia remaja, Noer Ali pergi ke Kampung Cipinang Muara, Klender (Jakarta Timur). Tujuannya, memeroleh ilmu dari Guru Marzuqi yang kelak menghasilkan alim ulama Betawi terkemuka. Banyak di antaranya yang sahabat karib Noer Ali.
Kesungguhan belajar putra daerah Bekasi ini menarik perhatian Guru Marzuqi. Pada akhirnya, Noer Ali diperbolehkan untuk mengajar murid junior bila sewaktu-waktu Guru Marzuqi berhalangan hadir.
Hijrah ke Tanah Suci
Kesempatan baik pun datang. Saat berusia 20 tahun, Noer Ali bersama dengan KH Hasbullah pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Momentum ini dimanfaatkannya juga untuk meneruskan belajar ilmu-ilmu agama.
Mereka berangkat dengan dukungan dana dari Wat Siong. Sebelum bertolak ke Makkah, keduanya dinasihati Guru Marzuqi. Salah satunya, ulama besar itu menasihati mereka agar menemui dan belajar pada Syekh Ali al-Maliki selama di Tanah Suci.
Di Haramain, Noer Ali juga menerima pengajaran dari banyak tokoh besar. Misalnya, Syekh Umar Hamdan, pengajar Kutub as-Sittah; Syekh Ahmad Fatoni, ulama asal Thailand Selatan, yang mengajar Kitab Iqna tentang ilmu fiqih; serta Syekh Muhammad Amin al-Quthbi yang mengajarkan kesusastraan, tata bahasa Arab, ilmu logika, serta tauhid.
Selain tiga nama besar itu, ada pula Syekh Abdul Zalil yang mengajarinya ilmu politik Islam. Kemudian, Syekh Ibn al-Arabi, pakar ilmu hadis serta ‘ulum Alquran.
Di luar kelas, Noer Ali tidak berbeda daripada kebanyakan penuntut ilmu asal Nusantara di Tanah Suci. Mereka konsen pada persoalan kolonialisme yang masih mendera sebagian besar umat Islam, termasuk di Indonesia. Melalui surat-surat yang diterimanya dari orang tua, dia mendapatkan gambaran tentang situasi terkini perjuangan kemerdekaan di Tanah Air.
Di Arab, Noer Ali aktif dalam pelbagai organisasi orang-orang Jawi (Melayu), seperti Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI), Persatuan Talabah Indonesia, Perhimpunan Pelajar Indonesia-Malaya, serta Persatuan Pelajar Betawi.
Kembali ke Tanah Air
Kerinduan pada kampung halaman akhirnya terjawab. Noer Ali hendak pulang ke Tanah Air. Sebelumnya, dia mengirim surat kepada gurunya, Syekh Ali al-Maliki.
Jawaban dari sang guru meneguhkan semangat anti-kolonialisme, “Kalau kamu ingin pulang, silakan pulang. Tetapi ingat, jika bekerja, jangan menjadi seorang penghulu (pegawai pemerintah). Kalau kamu mau mengajar, saya akan ridha dunia-akhirat.” Demikian seperti dikutip dari Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2011:95-96).
KH Noer Ali tiba di Batavia (Jakarta) pada awal 1940-an. Hal pertama yang dilakukannya adalah mendirikan Pesantren At-Taqwa di kampung halamannya. Pendirian pondok itu sekaligus menandakan baktinya kepada sang guru.
At-Taqwa menjadi tempatnya menyebarkan ilmu-ilmu agama sekaligus tekad melawan penjajahan. Oleh karena itu, pesantren tersebut selalu diawasi intelijen pemerintah kolonial.
Pada zaman pendudukan Jepang, semangat Noer Ali tidak luntur. Jepang awalnya datang dengan klaim sebagai "Saudara Tua" bangsa Indonesia. Namun, toh kekejamannya tidak jauh berbeda dibandingkan Belanda. Setelah kian terdesak di Perang Asia Timur Raya, Jepang mulai mencari simpati rakyat Indonesia. Misalnya, dengan membentuk laskar-laskar dan kesatuan Pembela Tanah Air (PETA).
Menurut Kiai Noer Ali, inilah kesempatan bagi anak-anak muda Indonesia untuk memeroleh ilmu militer modern. Dengan begitu, mereka akan siap bilamana Indonesia memerlukannya, terutama dalam menyongsong kemerdekaan. Oleh karena itu, tidak sedikit santrinya yang ikut dalam laskar Heiho, Keibodan, atau PETA yang dibentuk Jepang.