REPUBLIKA.CO.ID, 22 Oktober sejak dua tahun terakhir menjadi hari istimewa dan penuh kebanggaan bagi masyarakat seluruh Indonesia yang pernah mengecap pendidikan agama di pondok pesantren. Dalam Keputusan Presiden Nomer 22 Tahun 2015, tepatpada 1 Muharram 1437 H, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo meresmikan 22Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penetapan Hari Santri Nasional dilakukan sebagai wujud penghormatan dan bentuk apresiasi bagi para ulama dan santri yang telah merelakan segala yang mereka punya demi merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah.
Tak dapat dipungkuri, ulama dan santri memegang posisi penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya rela mengorbankan waktu dan tenaga, tak sedikit santri dan ulama yang mengorbankan darah dan nyawa saat berjihad di medan perang. Sebelum melancarkan aksi perlawanan, ulama adalah salah satugaung terkuat dalam menggemakan keinginan masyarakat Indonesia meraih kemerdekaan. Tak sedikit ulama yang diasingkan bahkan sengaja dibuang oleh penjajah karena dianggap sebagai ancaman terbesar penjajah dalam menguasai Indonesia.
Namun bagai pepatah mati satu tumbuh seribu, semangat para ulama dalam menyiarkan agama sekaligus menanamkan jiwa nasionalisme terus berkembang kepadasantri didikannya. Tak sedikit santri yang meneruskan perjuangan gurunya untuk menyiarkan islam ke berbagai penjuru bangsa. Makna jihad fi sabilillah bagi mereka bukanlah sekedar teori yang hanya perlu mereka pahami maknanya, tapi merupakan sebuah prinsip kehidupan yang mereka genggam hingga titik darahpenghabisan.
Meskipun kini, jasad para ulama dan santri-santrinya telah berguguran di medan perang, namun jasa dan ilmu yang mereka berikan kepada para penerusnya akan terus terjaga hingga kini. Bahkan, meski kini jasad terah tertanam didasar bumi dan menyatu dengan tanah, namun takzim dan pahala para ulama terus mengalir bagai sumber mata air yang tak pernah kering meski di tengah musim kemarau. Seperti janji Allah yang tertuang dalam surah Al-Mujadalah ayat 11, bahwa Allah akan mengangkat orang-orang beriman di antara kamu dan juga orangyang dikaruniai ilmu pengetahuan hingga beberapa derajat.
Bangsa Indonesia dan ulama atau santri, diibaratkan sebagai dua mata rantaiyang terus terhubung, saling menggenggam satu sama lain, dan saling menguatkan agar tidak tercerai. Sedangkan pelumas yang terus menjaga agar kedua mata rantai tersebut dapat terus berdampingan adalah ilmu. Ratusan ribu pondok pesantren yang berdiri di seluruh bagian Indonesia adalah wadah agar aliran ilmu terus mengalir, menjaga kekuatan mata rantai agar tidak berkoyak meski dimakan massa dan diterjang badai. Namun jika pelumas tersebut tidak mengalir, maka mata rantai akan kering dan rusak. Begitu juga jika dilumuri dengan bahanyang salah, mata rantai mungkin akan berkarat, rapuh dan patah.
Sejak berabad-abad lalu, saat Indonesia masih di bawah belenggu penjajahan, banyak putra bangsa Indonesia yang menempuh jarak ribuan kilometer demi memperoleh ilmu agama. Mereka rela terapung di samudera berhari-hari bahkan berbulan-bulan demi menuntut ilmu kepada syaikh di Makkah, Madinah, dan Mesir untuk nantinya mereka sebarkan di Indonesia.
Menuntut ilmu di negeri sendiri, saat itu bukan perkara mudah. Hanya anak-anak dari kalangan bangsawan dan pejabat yang diperbolehkan mengenyam pendidikan, sedangkan anak-anak dari keluarga sederhana harus berpuas hari meski hanya dapat menghabiskan waktu di sawah atau ladang sambil membantu orang tua mereka.
Salah satu kisah perjuangan ulama dalam menyiarkan ilmu agama juga terdapat di Bekasi. Wilayah yang saat itu masih didominasi hutan jati dan sengon itu memiliki beberapa ulama termasyur, KH Noer Ali adalah salah satunya. Kiai Noer Ali adalah seorang ulama yang juga mendapat gelar pahlawan Nasional pada 10 November 2006 lalu. Ketokohan Kiai Noer Ali telah diakui oleh dunia internasional dan nasional. Bahkan dia dijuluki sebagai Singa Karawang dan Bekasi atau 'macan' Bekasi karena perjuangannya merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.