Rabu 18 Oct 2017 18:03 WIB

Kebanyakan Masyarakat Indonesia Dinilai Belum Utamakan Halal

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Teguh Firmansyah
Produk dengan label halal terpajang di salah satu supermarket di Jakarta. ilustrasi (Republika/Prayogi).
Foto: Republika/Prayogi
Produk dengan label halal terpajang di salah satu supermarket di Jakarta. ilustrasi (Republika/Prayogi).

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Masyarakat Indonesia dianggap masih banyak yang memposisikan konsep halal di urutan ketiga. Hal ini terlihat ketika masyarakat Indonesia membeli sesuatu makanan atau produk.

"Itu kebanyakan yang diutamakan adalah murah. Kedua enak dan ketiga baru halal," ujar Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, Kementerian Agama, Abdul Amri Siregar melalui keterangan resmi yang diterima Republika.co.id, Rabu (18/10).

Melihat situasi tersebut, Amri menilai, Undang-Undang No 30 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal sangat diharapkan bisa mengubah pola pikir masyarakat. Dalam hal ini bagi warga yang terlena dengan produk-produk yang dijual tanpa sertifikasi halal.

Di sisi lain, dia mengutarakan, saat ini hanya ada 15 persen produk yang sudah tersertifikasi halal. Sisanya atau 85 persen masih belum bisa dipastikan kehalalannya. "Dalam memberikan label halal tidak boleh mendeklarasikan label halal sendiri karena harus ada sertifikasi halalnya yang membutuhkan pemeriksaan," katanya.

Menurut Amri, terdapat empat tahapan proses sertifikasi halal yang akan diterapkan oleh kementerian Agama. Pertama, pelaku industri mendaftarkan produknya ke Badan Penyelenggara Jaminan Halal (BPJH) Kemenag. Jika produk tersebut diperlukan pemerikasaan akan diteruskan ke Lembaga Penjaminan Halal (LPH) yang saat ini biasa disebut LPOM MUI.

Amri menambahkan, di masa mendatang MUI dan Kemenag akan berkerja sama dalam pemberiaan sertifikasi halal. LPOM MUI nantinya akan diubah menjadi LPH dengan melibatkan perguruan tinggi yang sudah mempunyai halal center.

Setelah dari LPH, lanjut dia, ini akan dikembalikan ke BPJH. Hasilnya, akan diserahkan ke MUI. Di sana para ulama akan mengeluarkan fatwa apakah produk yang diajukan mengandung unsur haram atau tidak. Dari situ jika halal, tambah dia, maka akan diterbitkan sertifkat halal.

Dalam proses sertifikasi produk halal, Amri menjelaskan, masyarakat bisa melakukan pemantauan atau tracking. Masyarakat bisa tahu sudah sampai tahap mana produk yang akan disertifikasinya. Jika lebih dari 62 hari belum keluar sertifikasinya, maka masyarakat bisa mengajukan tuntutan ke BPJH. "Kami membuat sistem ini seperti layaknya jasa pengiriman barang agar masyarakat bisa memantau prosesnya," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement