REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Agama tengah merumuskan regulasi audit syariah untuk program zakat. Sekjen Kemenag Nur Syam mengapresiasi, inisitif Ditjen Bimas Islam untuk merumuskan regulasi terkait audit penyelenggaraan program zakat.
Regulasi tentang audit syariah ini nantinya akan diberlakukan kepada Badan Amil Zakat (BAZ) Nasional maupun Daerah, serta Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang jumlahnya semakin banyak. Data Ditjen Bimas Islam mencatat saat ini sudah ada 19 LAZ dan sejumlah BAZ di seluruh Indonesia, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Menurut Nur Syam, audit syariah penting, karena kunci keberhasilan pengelolaan zakat ialah trust atau amanah. “Tanpa kepercayaan, jangan berharap bahwa pengelolaan zakat oleh lembaga apapun akan dipercaya masyarakat,” tegasnya di Jakarta, Kamis (12/10).
Audit perlu dilakukan, kata Nur Syam, karena zakat merupakan dana publik yang harus dipertanggungjawabkan. Pengelolaan zakat harus memenuhi dua unsur penting, yaitu: akuntabilitas dan transparansi.
“Dana publik harus dikelola secara transparan sehingga dapat diakses secara cepat dan mudah mengenai bagaimana penggunaan dana zakat dimaksud,” tutur Nur Syam.
“Harus dirumuskan elektronik pengelolaan zakat atau e-pengelolaan zakat, sehingga masyarakat akan tahu bagaimana pengelolaan zakat atau zakat dikumpulkan dan didayagunakan,” ujarnya.
Dengan pengelolaan yang baik dan akuntable, zakat bisa menjadi sumber dana pengembangan pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Mesir misalnya, pemerintah di sana memberikan peluang bagi Al Azhar University untuk mengelola zakat, infaq, dan shadaqah, sehingga menjadi dana abadi yang bisa dipakai untuk mengembangkan pendidikan dengan kemampuannya sendiri.
Hal sama juga dapat dilakukan di Indonesia, zakat bisa menjadi dana abadi umat untuk kepentingan pendidikan dan sosial kemasyarakatan. Apalagi, kesadaran bersedekah atau gerakan philanthropy dari para pengusaha kaya juga terus meningkat. Dari 22 orang kaya Indonesia dengan kekayaaan minimal Rp13 triliun, umumnya mereka memiliki kegiatan philanthropy. Artinya, mereka mulai menyadari bahwa kekayaannya dapat juga didayagunakan untuk kepentingan masyarakat.
“Zakat di Indonesia diprediksi mencapai Rp270 miliar. Ini tentu menjadi potensi bagi dana umat jika dikelola dengan sangat professional dan memperoleh pengawasan atau audit yang memadai,” ujar Nur Syam.
Terkait hal ini, peran pemerintah sangat menentukan dalam pengawasan. Setidaknya ada dua jenis audit syariah, yaitu: pertama, audit syariah internal yang dilakukan oleh BAZ atau LAZ sendiri. Setiap BAZ atau LAZ harus memiliki lembaga khusus internal yang memiliki otoritas dan kemandirian untuk melakukan audit internal.
“Kira-kira konsepnya sama dengan Inspektorat Jenderal yang secara fungsional melakukan audit terhadap lembaganya sendiri,” katanya.
Kedua, audit syariah eksternal. Yaitu, sebuah lembaga audit yang berperan melakukan pengawasan terhadap BAZ atau LAZ dan memiliki otoritas dan kemandirian di dalam melakukan audit. Jadi semacam Badan Pemeriksa Keuangan atau Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP) dan bahkan juga seperti Akuntan Publik yang dipercaya oleh pemerintah sebagai mitra Kemenag di dalam melakukan audit syariah.
Baik lembaga audit syariah internal maupun eksternal, kata Nur Syam, harus terdiri dari auditor yang memiliki basis pengetahuan tentang ilmu agama yang memadai, khususnya tentang ajaran prinsipil di dalam zakat. Untuk itu, lulusan Fakultas Syariah atau sejenisnya akan memiliki peluang untuk menjadi auditor-auditor untuk pengelolaan zakat.
“Ke depan, saya kira ada banyak peluang bagi pemerintah dan juga masyarakat untuk menjadi tim audit/auditor syariah yang akan melaksanakan tugas kepengawasan dalam kerangka untuk menjamin transparansi dan akuntablitas pengelolaan zakat,” tandasnya.