Kamis 05 Oct 2017 18:00 WIB

Studi Islam Sudah Bergeliat di Baghdad

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Agung Sasongko
Salah satu sudut Kota Baghdad, Irak.
Foto: Wikimedia
Salah satu sudut Kota Baghdad, Irak.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Buku The Oxford Encyclopedia of the Islamic World merangkum sejarah perkembangan kajian tersebut. Jauh sebelum Perang Salib meletus, studi keislaman sudah bergiat di Baghdad, kota pusat ilmu pengetahuan yang bersifat kosmopolitan.

Studi keislaman umumnya berlangsung secara kolaboratif antara sarjana Muslim dan non-Muslim, yakni Yahudi dan Kristen (Ortodoks). Tujuannya adalah mendeskripsikan Islam apa adanya dan bagaimana agama ini melihat interaksi sosial.

Namun, pemaknaan yang lebih eksklusif atas studi keislaman terjadi ketika orang-orang Kristen Katolik (Roma) ikut berkecimpung menggairahkan kajian tersebut. Setidaknya sejak abad kelima hingga 15 (rentang Abad Pertengahan), cakrawala pengetahuan orang-orang Katolik mengenai Islam berasal dari Injil, khususnya narasi Kitab Kejadian, serta para pendeta.

Dikatakan, moyang bangsa Arab dan bangsa Yahudi sama-sama merupakan keturunan Nabi Ibrahim. Informasi tentang apa itu Islam dan bagaimana itu umat yang memeluknya masih sebatas pengetahuan tentang genealogi demikian.

Keterbatasan cakrawala pengetahuan itu lebur seiring dengan berlangsungnya Perang Salib. Banyak orang Katolik yang awam ikut menjadi rombongan Tentara Salib. Selagi dalam perjalanan menuju Yerusalem, mereka berjumpa dengan umat Islam di Asia Barat.

Mereka mengalami gegar budaya karena terkejut dengan perbedaan gaya hidup dengan kaum Muslim. Misalnya, mengenai keteraturan tata kota, kebersihan di ruang publik, cara berbusana, kuliner, dan keberagaman.

Patut dicatat bahwa peserta Perang Salib adalah orang-orang Katolik, bukan Kristen Ortodoks. Demikian pula, antara Katolik dan Kristen Ortodoks terdapat rivalitas. Roma dan Konstantinopel masing-masing mendaku sebagai pusat dunia Kristen. Perbedaan antara keduanya kian jelas sehubungan dengan dunia Islam.

Orang-orang biasa dan para pemimpin Kristen Ortodoks di Konstantinopel atau sekujur Asia Barat telah lama berinteraksi secara wajar dengan kaum Muslim.Kewajaran ini tidak terasa pada kaum Katolik. Perspektif Katolik Roma saat itu melihat umat Islam tidak semata-mata orang lain (the others), melainkan juga orang asing (aliens).

Buktinya dapat dilihat dari isi khotbah Paus Urban II di hadapan massa sehingga memicu Perang Salib pada 1095. Sejarawan Graham E Fuller dalam bukunya, A World Without Islam, menegaskan, tidak ada satu pun kata `Islam' atau `Muslim' dalam orasi sang paus itu.

Hanya ada sebutan `mereka', `orang asing itu', dan semacamnya sehingga tidak tegas mengidentifikasi agama tertentu.Wajar bila pada 1198 Tentara Salib bertempur hebat dan membantai umat Kristen Ortodoks di Konstantinopel. Sebab, Tentara Salib melihat baik Kristen Ortodoks maupun Islam sebagai aliens.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement