REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keyakinan tinggi ini tidak boleh dilepaskan dari sikap tawakal. Jadi tawakal bukanlah penyerahan diri tanpa disertai apapun. Tawakal adalah keyakinan kuat itu sendiri. Allah SWT berjanji barangsiapa yang bertawakal dengan sungguh-sungguh, Ia akan mencukupi segala kebutuhannya.
Allah SWT berfirman, "Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendakiNya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (QS ath-Thalaq [65] : 3)
Ayat di atas jangan sampai dipahami secara terbalik. Jika Allah SWT sudah menjamin dengan tawakal manusia akan diberikan kecukupan, lalu apa gunanya berkerja dan usaha?
Imam Ahmad memberikan sifat orang-orang yang seperti itu sebagai orang yang tidak mengenal ilmu. Dalam hadis yang mengumpamakan tawakal manusia sebagaimana tawakalnya seekor burung, justru termaktub jelas tentang ikhtiar.
Burung tersebut bukan tinggal di sarang dan tidak melakukan apa-apa. Namun ia melakukan usaha, dengan cara keluar dari sarang pada pagi harinya dan pulang pada sore harinya.
Tawakal adalah keyakinan saat berangkat menuju pekerjaan. Bahwa Allah pasti akan mencukupkan rezekinya. Sehingga dia tidak memiliki kekhawatiran sedikitpun. Lalu ia bekerja dengan kondisi yang nyaman dan optimal. Oleh karenanya rezeki yang Allah jaminkan tadi akan datang dengan deras.
Imam Ahmad juga pernah berkata, "Para sahabat juga berdagang dan bekerja dengan pohon kurmanya. Dan mereka itulah teladan kita" (Fathul Bari, 11/305-306).
Jelaslah sudah jika tawakal bukanlah meninggalkan usaha. Imam Abul Qasim al-Qusyairi dalam Murqatul Mafatih berpendapat jika tawakal itu letaknya di dalam hati. Sementara gerak secara lahiriah tidak bertentangan dengan tawakal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba meyakini bahwa rezeki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah karena takdir-Nya, dan terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan dari-Nya.
Soal tawakal dan usaha, mungkin hadis berikut ini cukup jelas memberikan gambarannya. Amr bin Umayah RA berkata, "Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu unta (tunggangan)-ku lalu aku bertawakal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal ? 'Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaraan (unta)-mu lalu bertawakallah". (Musnad Asy-Syihab).
Disarikan dari Dialog Jumat Republika