REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rasulullah ketika menerima wahyu dalam kondisi tidak dapat membaca dan menulis. Namun keterbatasan itu tidak menjadi penghalang Rasulullah menghafal firman Allah.
Dengan bantuan Ilahi melalui malaikat Jibril, Muhammad mampu menghafalkan Alquran. Kisah Rasulullah itu, menurut Dokter Sagiran dalam bukunya Menjadi Keluarga Allah, membuktikan baca-tulis bukanlah syarat utama menghafal Kalam Ilahi.
Buku karangan ahli bedah umum yang juga aktif di Majlis Tarjih Muhammadiyah ini juga menjelaskan kelebihan dan kekurangan beberapa metode tahfiz Alquran, misalkan Ruhama. Metode ini mengedepankan kehati-hatian dalam menghafal wahyu Ilahi. Jika ada kesalahan dalam menghafal, seseorang akan diarahkan untuk mengulang hafalannya terusme nerus. Metode ini banyak diterapkan di sejumlah pesantren.
Ada juga yang mensyaratkan bahasa Arab. Anak yang sudah mampu menulis dan berbicara dengan bahasa Arab dinilai lebih cepat menghafal Alquran. Kesimpulan ini banyak diutarakan pendakwah Alquran dari Timur Tengah.
Cara lainnya adalah dengan terlebih dahulu menguasai ilmu tajwid. Tujuannya agar bacaan Alquran sudah sesuai dengan kaidah ilmu tersebut, sehingga memahami bagaimana cara menerapkan bacaan izhar, idgham, ikhfa, alif lam qamariyah, syamsiyah, dan lainnya.
Berbagai metode menghafal Alquran tersebut didasarkan pada penga laman. Lembaga pendidikan, seperti pesantren sudah berpengalaman menerapkan metode tersebut, sehingga pengalaman mereka menjadi kajian berbagai pihak yang mendalami tahfiz Alquran.
Sagiran menjelaskan, yang paling utama adalah menghafal Alquran dulu. Setiap hari diusahakan hafal satu halaman Alquran. Setorkan hafalan itu kepada pembimbing. Setelah itu pasrahkan apa yang sudah diingat kepada Allah.
Jika hal tersebut rutin dilak sanakan setiap hari, maka dalam 604 hari, seseorang diyakininya sudah mampu menghafal kitabullah dengan baik. Orang tersebut berhak menyandang gelar hafiz, karena dia sudah menjadi penjaga Alquran.