REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menghadapi tantangan agresivitas produk halal asing yang menyasar pasar Indonesia. Penerapan ssgera regulasi dan penguatan loyalitas konsumen diharapkan bisa jadi solusi.
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim menjelaskan, negara-negara Asia Timur serius menggarapa pasar halal Indonesia karena perdagangan mereka dengan Cina terkendala, sehingga Indonesi jadi alternatif. Sayangnya, di dalam negeri pun Indonesia menghadapi masalah terkait perhatian terhadap produk halal domestik. ''Ini jelas tantangan bagi Indonesia,'' kata Lukman, Kamis (14/9).
Menurut Lukman, penerapan regulasi perlu segera dilakukan termasuk penerapan kewajiban sertifikasi dan labelisasi halal semua produk yang masuk. Apalagi, produk halal asing yang masuk punya kualitas dan harga kompetitif.
Proses administrasi sertifikasi halal Indonesia memang tengah berpindah ke sistem baru. Selama sistem baru belum ada, sistem yang ada bisa dipakai sesuai amanat Undang-Undanga Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal (UU JPH). Terlebih kerja sama antar lembaga tidak mudah.
''Kalau kewajiban sertifikasi ini tidak dijalankan, jadi ancaman untuk industri lokal,'' ucap Lukman.
Penggunaan standar dan kriteria yang seragam untuk menciptakan persaingan yang adil. Di kawasan Asia Timur, halal tidak dikenal. Namun, kriteria yang diterapkan pada produk halal dari Asia Timur harus seragam dan sama ketatnya dengan produk halal lokal. Hal ini penting dan harus diperjuangkan bila tidak ingin membunuh industri lokal.
Untuk membantu, kata dia, perlu ada percepatan sertifikasi halal UMKM dan efisiensi produksi. "UMKM menghadapi ketidakpastian dan butuh subsidi pembiayaan agar sertifikasi tidak jadi beban," katanya.
Dengan amanat UU JPH, sertifikasi halal pada negara jangan dipandang sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) tapi sebagai pengeluaran negara. UU JPH jadi bukti negara hadir dengan menyediakan anggaran untuk sertifikasi UMKM sehingga melindungi konsumen dan UMKM dari persaingan bebas.
''Harus ada subsidi pemerintah untuk sertifikasi UMKM. Kalau tidak, tergilas,'' ungkap Lukman.
Negara Asia Timur seperti Korea Selatam menyediakan subsidi sebesar Rp 8 juta per UMKM untuk sertifikasi sehingga bisa ekspor. Tiap tahun sendiri ada sekitar 100 perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal dan berorientasi ekspor. ''Ini soal melindungi produsen. Jadi, konteks sertifikasi halal pada UMKM bukan PNBP, tapi subsidi,'' ujar Lukman.
Di sisi lain, konsumen Muslim domestik juga dituntut loyal pada produk halal lokal. MUI selama ini kerja sendiri membangun loyalitas itu. Pemerintah harusnya peduli juga sehingga bisa membangun konsumen yang loyal pada produk halal lokal.