REPUBLIKA.CO.ID. JAKARTA.- Kontroversi seputar imunisasi dan vaksin memang masih mendebarkan bagi umat Islam. Khususnya ketika pada 2010, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sumatra Selatan melakukan kajian terhadap vaksin meningitis.
"Saat itu mereka menemukan ada kandungan najis besar di dalam vaksin, yakni babi," ujar anggota Komisi Fatwa MUI Pusat Aminudin Yakub dalam acara Seminar dan Diskusi Panel Imunisasi Dalam Pandangan Islam di Jakarta, Sabtu (9/9).
Aminudin mengungkapkan, penemuan tersebut langsung menjadi isu nasional dalam sekejap. Sebab, pemberian vaksin meningitis merupakan salah satu syarat bagi jamaah haji sebelum mendapatkan visa haji.
Pascapenemuan barang haram di dalam vaksin, MUI mengambil langkah tegas. Satu tahun kemudian MUI Pusat mengkaji vaksin meningitis dan mencoba mencari alternatif. Pencarian vaksin alternatif dilakukan ke Italia hingga Cina. Akhirnya vaksin meningitis alternatif berbahan dasar halal berhasil ditemukan.
Aminudin mengatakan, meski demikian perdebatan masih tetap terjadi di kalangan umat Islam khususnya terkait bahan baku pembuat vaksin. Itu sebabnya MUI Pusat mengeluarkan fatwa atau hukum terkait imunisasi dan vaksin.
Secara singkat fatwa MUI terhadap imunisasi dan vaksin, yakni boleh dilakukan asal sesuai dengan syariat Islam. "Kemudian proses pembuatan hingga pengemasan juga dilakukan sesuai syariat Islam," jelas Aminudin. Imunisasi baik dilakukam demi kemaslahatan orang banyak, dan MUI mendukung program imunisasi.
Sekian tahun mengkaji, MUI Pusat akhirnya membuat fatwa terkait imunisasi dan vaksin dari sudut pandang Islam. Dalam Fatwa MUI No.4 Tahun 2016 menimbang ketentuan umum imunisasi sebagai proses untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu dengan cara memasukkan vaksin. Sementara, vaksin merupakan produk yang berisi antigen berupa mikroorganisme.
Pertimbangan hukum juga mengaitkan al dlarurat, yakni kondisi keterpaksaan yang apabila tidak dilakukan akan mengancam jiwa manusia. Kemudian menimbang al hajat yang merupakan kondisi terdesak sehingga menyebabkan penyakit berat atau cacat pada seseorang.
Dalam fatwa tersebut MUI Pusat mengeluarkan ketentuan, imunisasi pada dasarnya dibolehkan atau mubah sebagai bentuk ikhtiar untuk mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya suatu penyakit. Kemudian vaksin imunisasi wajib menggunakan bahan halal dan suci.
Imunisasi berbahan haram boleh dilakukan apabila dalam kondisi darurat atau terdesak, kemudian belum ditemukan vaksin lain yang berbahan halal. Namun pemberian vaksin berbahan haram harus dengan catatan bahwa jika seseorang tidak mendapat vaksin akan menyebabkan kematian, kecacatan, atau penyakit berat.