REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam filsafat dan tasawuf Islam, di samping istilah an-nafs dan ruh, juga ditemukan istilah al-qalb (kalbu) dan al-‘aql (akal). Empat istilah tersebut mempunyai hubungan yang erat sekali. Perbedaannya terletak pada penggunaan arti.
Para sufi mengartikan an-nafs sebagai sumber moral yang tercela, sedangkan ruh adalah sumber kehidupan dan sumber moral yang baik. Ruh juga sesuatu yang halus, bersih, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu yang merupakan rahasia Allah SWT yang hanya bisa diketahui oleh manusia tertentu setelah Allah SWT memberikan kasyf (gambar yang terbayang) kepadanya.
Al-qalb atau kalbu diartikan sebagai wadah untuk makrifat, suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang bersifat Ilahiah. Ini dimungkinkan jika hati telah bersih sebersih-bersihnya dari hawa nafsu, melalui pola hidup yang zuhud, warak, dan zikir secara terus-menerus.
Sedangkan, al-aql atau akal diartikan sebagai alat untuk mengetahui ilmu yang diamati dari pancaindra atau dari hal-hal yang zahir (lahir). Karena itu, tingkatnya berada di bawah tingkatan al-qalb.
Para cendekiawan Muslim banyak yang memilih diam dalam mempelajari asal-usul ruh. Mereka mengemukakan alasan bahwa jiwa atau ruh itu adalah urusan Allah SWT yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali hanya Allah SWT (QS al-Isra’ [17]: 85).
Hubungan ruh dengan jasad dikemukakan oleh filsuf Islam, al-Farabi dan al-Gazali. Al-Farabi mengatakan bahwa jiwa atau ruh merupakan bentuk bagi jasad di satu pihak dan jauhar ruhani di lain pihak. Ruh selalu bekerja melalui jasad dan jasad membentuk sasaran ruh. Ruh atau jiwa tidak akan ada jika jasad tidak bersedia menerimanya.
Dalam hal kerja ruh atau jiwa ini, al-Gazali membaginya ke dalam dua macam arti. Pertama, dalam arti materiil (ruh hewani), dan kedua, dalam arti imateriil (ruh insani). Dalam arti pertama adalah organ jasad yang bekerja sebagai daya penggerak maupun daya yang mengetahui.
Arti kedua, jiwa adalah nafs natiqah, dengan daya praktik dan teori. Hubungan kedua macam jiwa ini dapat diketahui dengan ilham (ilmu mukasyaf), yang merupakan pembuka tabir hakikat hubungan keduanya karena kesulitan terletak pada perbedaan hakikat antara jiwa dan jasad.
Jiwa sebagai jauhar ruhani berasal dari alam Ilahi (alam malakut), sedangkan jasad berasal dari alam kejadian (khalq). Namun, yang jelas, menurut al-Gazali, jasad bukan tempat ruh karena tidak mendiami tempat tertentu. Jasad hanyalah merupakan alat. Ruh mendatangi jasad sebagai substansi yang juga diperlukan oleh jasad bantuannya.
Ruh mengatur dan bertasaruf (bertindak) pada jasad sebagaimana halnya raja dengan kerajaannya. Keperluan jiwa terhadap badan dapat diumpamakan dengan perlunya bekal bagi musafir. Seseorang tidak akan sampai kepada Tuhan kalau ruh tidak mendiami jasadnya selama di dunia. Tingkat yang lebih rendah harus dilalui untuk sampai pada tingkat yang lebih tinggi.
Al-Gazali berkesimpulan bahwa hubungan ruh dengan jasad merupakan hubungan yang saling memengaruhi. Di sini al-Gazali mengemukakan hubungan dari segi maknawi karena wujud hubungan itu tidak begitu jelas. Lagi pula ajaran Islam tidak membagi manusia dalam kenyataan hidupnya pada aspek jasad, akal, atau ruh, tetapi merupakan suatu kerangka yang saling membutuhkan dan mengikat. Itulah yang dinamakan manusia.
Disarikan dari Dialog Jumat Republika
(Baca: Hakikat Ruh)
(Baca Lagi: Ibnu Sina dan al-Gazali Bicara Soal Ruh)