REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abdul Hakeem Heinz merasa terpaksa mengubah keyakinannya. Awalnya dia memeluk agama warisan keluarga yang tidak mengesakan Tuhan. Namun, kini dia harus berislam. Perubahan keyakinan itu disebabkan orang tuanya yang bersyahadat mengimani keagungan Allah.
Ini bukan perjalanan yang mudah bagi pria yang besar di selatan kota London, Inggris ini. Pada usia tujuh tahun, saat pertama kali mengenal Islam, Heinz merasa kehilangan kepercayaan diri. Wajar saja, kebiasaan sau dara laki-laki dan perempuannya hadir dalam ritual pekanan, kini harus ditinggalkan.
Kesan pertama tak begitu nyaman. Heinz menilai Islam sebagai agama berisikan syariat yang ketat. Kesulitan itu dia rasakan pada masa awal memeluk Islam. Setiap hari dia harus shalat Subuh, di saat orang lain sedang tidur nyenyak. Bahkan, sebelum itu dia harus makan dan minum pada dini hari untuk sahur. Kemudian, pagi harinya dia harus menahan lapar dan haus.
Di saat teman-temannya menikmati makan siang yang lezat, dia harus berpuasa. Bagi dia, ini bukan hal mudah. Berislam di tengah masyarakat multikultural dan bukan mayoritas Muslim menjadi tantangan tersen diri. Butuh mental dan komitmen yang kuat untuk bisa menjalankan tradisi keagamaan tersebut.
Sikap orang yang berubah terhadapnya memberikan pengaruh tersendiri. Saat memulai sekolah menengah, dia tidak mau secara berani menunjukkan keislamannya. Keimanan itu dia sembunyikan di relung hati. "Itu karena tekanan dari luar, tapi pada saat yang sama, saya merasa belum masuk Islam, hanya cukup untuk membenarkan iman saya seperti yang saya bisa."