REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Masjid Indonesia (DMI) menilai, masjid di Indonesia secara keseluruhan belum menjadi penggerakan dakwah ekonomi. Oleh karena itu, DMI mengimbau, agar masjid jangan dipisahkan dari pasar supaya ekonomi umat menguat.
Di samping itu DMI juga mengakui, sebagian masjid sudah ada yang mempunyai program-program pemberdayaan ekonomi umat meski sebagian besar belum. "Kalau masjid secara keseluruhan sudah bergerak ke situ (penggerak dakwah ekonomi), yakin umat Islam akan termasuk di antara yang bisa menguasai arah ekonomi nasional," kata Sekretaris Jenderal DMI, Imam Addaruqutni kepada Republika.co.id, Senin (4/9).
Imam mengatakan, selama ini umat Islam hanya sebagai konsumen saja. Tapi, daya beli masyarakat semakin lama semakin menurun. Hal ini menunjukan kekuatan profesionalisme umat Islam kurang bagus. Pembinaan dan pemberdayaan ekonomi dari negara dan masyarakat juga sama-sama masih kurang. Efeknya berpengaruh kepada daya beli masyarakat.
Menurutnya, hal ini juga menunjukan indeks ekonomi masyarakat Muslim menurun. Sehingga perlu diperkuat oleh program-program masjid yang bisa mendorong sisi profesionalisme masyarakat Muslim. Seperti DMI yang selalu mengimbau, jangan dipisahkan antara masjid dan pasar.
"Kalau dimungkinkan ada bazar di masjid, adakanlah bazar di sekitar masjid, tapi masih banyak para dai yang ingin memisahkan masjid dari pasar," ujarnya.
Menurutnya, ada dai yang beranggapan kalau ada bazar di masjid akan menganggu kesakralan ibadah. Menurut DMI, tidak demikian. Bahkan, Allah melalui Alquran mengatakan, apabila mendengar suara azan, maka bersegeralah ke masjid dan meninggalkan jual beli (bisnis).
Artinya, kalau saat jual beli di pasar terdengar suara azan, bararti jarak antara pasar dan masjid dekat sekali karena zaman dulu tidak ada pengeras suara. Maka, DMI menganjurkan jangan pisahkan masjid dan pasar. Di samping itu, profesionalisme masyarakat Muslim juga harus terus ditingkatkan agar lebih baik lagi.
Mengenai kendala mengapa masjid belum menjadi penggerak dakwah ekonomi, menurut Imam, banyak kendala. Ada kendala yang bersifat struktural dan etis yang kadang disalahpahami. “Kendala struktural itu, antara masjid dengan kebijakan nasional masih agak jauh, jadi belum ada kebijakan nasional yang bersifat ekonomi masjid," ujarnya.
Ia menambahkan, kendala etisnya, ada beberapa dai yang menjauhkan masjid dengan bisnis. Mereka beranggapan kalau berdagang di sekitar masjid tidak etis. Padahal zaman dulu masjid dekat dengan pasar. Logikanya, suara azan terdengar dari tempat jual beli meski belum ada pengeras suara.