Jumat 25 Aug 2017 16:00 WIB

Diplomasi, Cara Islam Bangun Peradaban

Rep: Nashih Nasrullah/ Red: Agung Sasongko
Artefak bertuliskan huruf arab peradaban Mesopotamia periode Islam di Museum
Foto: Thaier Al-Sudani/Reuters
Artefak bertuliskan huruf arab peradaban Mesopotamia periode Islam di Museum

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Islam menempatkan diplomasi sebagai salah satu media utama dalam membangun peradabannya. Tidak hanya pada proses, tetapi juga bagaimana memilih diplomat-diplomat andal.

Ibn Hadidah (783 H) dalam kitabnya yang berjudul  Al Mishbah Al Mudli' fi Kuttab An Nabiyy Al Umiyy wa Rusulihi Ila Al Muluk Al Ardl Min 'Arabiyyin Wa 'Ajamiyyin mengungkapkan, Rasulullah SAW menunjuk para diplomat ulung, yang dalam bahasa sederhana ketika itu lebih sering disebut dengan rasul. Jumlah mereka cukup banyak, yakni kurang lebih 43 sahabat.

Para diplomat tersebut awal mulanya membawa misi utama, yaitu mendakwahkan Islam. Mereka dibekali dengan surat-surat yang berasal langsung dari Rasul. Dokumentasi tentang surat-surat Rasulullah dianggap penting dan menyimpan nilai sejarah tinggi. Adalah Muhammad Ibn Thulun Ad Dimasyqi (880-953 H), ulama multidisiplin ilmu, menulis kitab yang diberi tajuk A'lam As Sailin 'An Kutub Sayyid Al Mursalin.

Karya yang ditulis oleh tokoh bermadzhab Hanafi itu diklaim sebagai kitab pertama yang mencoba menginventarisasi surat-surat Rasulullah secara khusus. Jumlahnya memang relatif sedikit.  Tidak semua surat yang pernah dikirimkan oleh Rasulullah terekam oleh para sahabat. Dan, hampir keseluruhannya beralih dari generasi satu ke generasi lainnya melalui cara periwayatan. 

Klaim itu mungkin bisa saja benar lantaran tokoh kelahiran Salhia, Damaskus, Suriah, itu memang ilmuwan yang untuk kali pertama fokus mengumpulkan risalah-risalah tersebut. Tetapi, bukan berarti tidak pernah terdapat tokoh ulama yang mendokumentasikan surat-surat tersebut sebelumnya. Ada, hanya saja mereka belum menuangkannya secara khusus ke sebuah karya. Surat-surat itu ditulis berserakan di berbagai kitab sirah nabi atau buku-buku sejarah.

Sebut saja misalnya, Ibnu Ishaq (151 H) yang menulis kitab As Sirah An Nabawiyah, Muhammad Ibn Sa'ad (230 H) dalam kitab Ath Thabaqat Al Kubra, atau Muhammad Ibn Sayyid an Nass Al Yamuri (734) dengan kitab 'Uyun Al Atsar.

Dari dua kitab yang terakhir itulah, ditambah dengan kitab Nashb Ar Riwayah li Ahadits Al Hidayah karangan Az Zaila'I, Ibnu Thulun banyak menyadur dan menukil surah-surah tersebut.

Berbagai usaha yang telah dilakukan para ulama terdahulu cukup dapat membuktikan bahwa dari aktivitas surat-menyurat saja, akar berdiplomasi damai begitu kuat dalam Islam. Ada korelasi kuat antara diplomasi dan dakwah Islam di sana.      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement