REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umar bin Khattab merupakan salah satu pemimpin terbaik dalam sejarah Islam. Sewaktu menjabat khalifah, sahabat Rasulullah SAW itu memiliki kebiasaan ronda malam. Beberapa sumber menyebut, sang khalifah tidak akan tidur sebelum merasa yakin, segenap penduduk Madinah dan sekitarnya melalui malam hari dengan perut kenyang dan hati yang tenteram.
Kisah berikut ini menegaskan kecenderungan Khalifah Umar bersikap adil dalam menetapkan suatu keputusan. Ini terkait lamanya waktu berperang di jalan Allah yang dihubungkan pula dengan perasaan perempuan.
Abu Hafsh meriwayatkan dari Zaid bin Aslam bahwa suatu malam ketika Khalifah Umar sedang ronda, ia lewat di depan rumah seseorang. Dari dalamnya, suara seorang perempuan terdengar lirih sedang bersenandung untaian syair: "Malam ini terasa panjang, sunyi senyap hitam kelam; Lama aku tiada kekasih, yang kucumbu dan kurayu."
Umar bin Khaththab menanyakan kepada orang yang kebetulan berpapasan, siapa gerangan perempuan itu. Darinya terdapat informasi, perempuan tersebut adalah Fulanah, istri seorang prajurit Islam yang sedang berjuang di medan jihad. Keesokan harinya, Khalifah Umar bersurat kepada komandan di lapangan agar suami Fulanah segera pulang ke rumahnya.
Kisah tidak berhenti di situ. Khalifah Umar berupaya mencari tahu, sebenarnya berapa lama waktu bagi seorang istri dapat menahan kerinduan akan suaminya.
Sosok bergelar al-Faruq itu lantas mengunjungi rumah putri kandungnya, Hafshah. "Wahai, putriku. Berapa lama seorang perempuan mampu menahan (sabar) ditinggal pergi suaminya?" tanya sang khalifah setelah berbasa-basi.
Awalnya, Hafshah terkejut dan tersipu malu mendengar pertanyaan yang tak disangka itu. "Subhanallah. Orang seperti Ayah bertanya kepada saya tentang soal-soal ini?"
"Kalau misalnya bukan karena kepentingan umat, tentu saya tidak akan menanyakan hal ini kepadamu," kata Umar, melanjutkan.
Setelah mendapatkan pengertian, sang putri menjawab, ada rentang waktu sekitar lima atau enam bulan kesabaran seorang istri untuk menunggu suaminya pulang. Sejak saat itu, Khalifah Umar menetapkan waktu tugas bagi seluruh prajurit Muslim di medan perang tidak lebih dari enam bulan.
Rinciannya, satu bulan merupakan perjalanan pergi ke gelanggang jihad, empat bulan lamanya di lapangan, kemudian satu bulan sisanya untuk perjalanan pulang.
Demikian disarikan dari kitab Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khaththab karya M Abdul Aziz al-Halawi (hlm. 176-7).