REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Di sebuah pesantren, tersebutlah kisah seorang kiai yang tengah mengajarkan santrinya tentang hikmah menjalankan syariat. Si santri diminta mengirimkan satu paket kotak yang dibungkus rapi kepada kiai di kampung sebelah. Sang kiai berpesan, si santri dilarang melihat apa isi dari paket itu.
Berangkatlah si santri mengantarkan paket tersebut dengan hati bertanya-tanya. Di sepanjang jalan, hatinya terus diusik, apa sebenarnya isi dari paket tersebut. Mengapa ia tidak diperbolehkan untuk mengetahuinya?
Akhirnya, si santri memutuskan untuk melihat isi dari paket tersebut. Rasa penasarannya begitu menggebu-gebu. Ia berpikir, kiainya toh tak akan mengetahui karena hanya ada ia dan kotak itu saja. Ia hanya ingin membuka kotak itu, melihat isinya, kemudian menutupnya kembali.
Begitu kotak tersebut dibuka, meloncatlah seekor kodok dari dalam kotak. Si santri kaget. Kodok itu pun langsung meluncur ke sungai dan menghilang dibawa arus sungai. Ia terkulai lemas karena dirinya telah gagal membawa amanah dan menjalankan pesan kiainya.
Ada banyak hal dalam agama ini yang mengundang penasaran dan pertanyaan. Mengapa berwudhu harus berurutan dengan mendahulukan wajah, tangan, kepala, dan kemudian kaki? Mengapa shalat memiliki gerakan rukuk dan sujud? Mengapa Islam mensyariatkan ini dan itu? Inilah yang harus dipahami umat Islam, bahwa Allah SWT berhak membuat syariat tanpa perlu memberikan alasan apa pun.
Dalam Alquran, Allah SWT sering berfirman dengan huruf-huruf mutasyabihat, seperti; alif laam mim, alif laam raa, dan seterusnya. Adalah hak prerogatif Allah SWT untuk berfirman apa pun yang Dia kehendaki. Alquran adalah kalam (perkataan)-Nya. Dia tak punya kewajiban pada hamba-Nya untuk memahamkan seluruh firman-Nya itu.
Ada satu mauqif (tahapan) dalam Islam, di mana umatnya hanya diminta untuk mengimani saja. Mereka dilarang menanyakan perkara-perkara di luar hak mereka untuk mengetahuinya. Seperti beberapa syariat yang Allah SWT perintahkan kepada hamba-Nya.
Mengapa shalat Subuh dua rakaat, sedangkan shalat Zhuhur empat rakaat? Bukankah waktu Subuh lebih lapang dari waktu Zhuhur yang sibuk dengan pekerjaan? Mengapa harus berpuasa di bulan Ramadhan? Bukankah bisa berpuasa di bulan-bulan lainnya?
Mengapa harus tawaf (memutari Ka'bah) dan sa'i (berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwa)? Serta pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya. Jawabannya, hanya Allah SWT Sang Pembuat Syariat ini saja yang mengetahuinya.
Disarikan dari Dialog Jumat Republika