Kamis 10 Aug 2017 01:23 WIB

Menangkal Radikalisme di Asia Tenggara

Rep: Taufik Alamsyan Nanda/ Red: Agus Yulianto
Komisioner Komisi Independen HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI tentang Perkawinan dan Keluarga.
Foto: Dokumen
Komisioner Komisi Independen HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI tentang Perkawinan dan Keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asia Tenggara sebagai suatu kawasan yang beragam, mulai mendapatkan ancaman dari radikalisme agama. Proses demokratisasi yang berlangsung di tengah masyarakat terancam oleh pandangan ekstrem trans-nasional.

"Saat ini kan sedang menggejala radikalisme agama, kemudian ada terorisme, ekstremisme. Tapi di sisi lain juga ada demokrasi. Asia Tenggara juga menerima berbagai pengaruh global. Ada ideologi-ideologi islam trans nasional," ujar peneliti Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta Jajang Jahroni kepada Republika.co.id, Rabu (9/8). Ia menyampaikan hal tersebut di sela-sela konferensi internasional Studia Islamika yang mengambil tema "South Asian Islam : Religious Radicalism, Democracy and Global Trends."

Jajang menegaskan, bahwa radikalisme telah menjadi ancaman yang serius. Radikalisme juga hadir di berbagai negara. Baik di Indonesia sendiri, maupun negara-negara Asia Tenggara lain. Seperti Filipina, Myanmar dan Thailand. Ada konflik etnis dan kelompok-kelompok intoleran di sana.

"Padahal, Asia Tenggara itu merupakan kawasan yang amat beragam. Baik dari segi agama, maupun etnik dan budaya. Jadi sulit membayangkan Asia Tenggara itu seragam. Tidak bisa," ujarnya.

Di dalam menangkal radikalisme, pemerintah Republik Indonesia pada bulan lalu telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (perppu) No. 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas). Melalui Perrpu tersebut pemerintah dapat membubarkan ormas yang dianggap radikal dan mengancam keutuhan negara. Hal tersebut langsung memicu kontoversi dan reaksi dari berbagai pihak.

Menurut Jajang, Perppu Ormas dibutuhkan untuk menghentikan eskalasi kelompok kelompok radikal supaya tidak berkembang lebih parah. Dia menjelaskan, bahwa Indonesia mengalami peningkatan jumlah ormas sejak reformasi.

"Jadi Indonesia ini darurat ormas. Ormas itu kalau ditata sedemikian rupa ya bagus. Tapi kalau tidak ditata, dia menjadi liar dan bisa mengganggu demokrasi," ujarnya.

Komisioner HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Siti Ruhaini Dzuhayatin yang juga menjadi pembicara dalam panelis mengatakan, bahwa ada dua hal yang harus dilihat dari perppu ormas. Pertama terkait substansi. Yang kedua terkait strategi.

Menurutnya, secara substansi sudah tepat. Karena radikalisme dianggap sudah sampai pada suatu taraf yang tidak bisa ditoleransi. Artinya ini sudah menjadi suatu ancaman yang sangat dekat. Maka dari itu negara harus kuat untuk bisa melakukan penindakan yang sungguh - sungguh.

Sedangkan terkait dengan strategi, menurut Siti, harus dilihat secara hati-hati. Perppu ormas merupakan sesuatu yang tidak diinginkan di dalam suatu proses berdemokrasi. Karena dikhawatirkan akan membawa dampak pengontrolan kebebasan berserikat dan berpendapat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement