Kamis 10 Aug 2017 00:47 WIB

Radikalisme Agama Dianggap Lebih Menindas Perempuan

Rep: Taufik Alamsyan Nanda/ Red: Agus Yulianto
Komisioner Komisi Independen HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI tentang Perkawinan dan Keluarga.
Foto: Dokumen
Komisioner Komisi Independen HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) OKI tentang Perkawinan dan Keluarga.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekstremisme agama muncul sebagai ancaman utama bagi keamanan nasional dan hak asasi manusia (HAM). Pasalnya, kelompok-kelompok radikal hendak memaksakan keyakinan yang mereka pahami sebagai sistem politik negara yang mengesampingkan nilai-nilai HAM dan demokrasi.

Hal tersebut mengemuka di dalam pidato kunci Komisioner HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam Konferensi Studia Islamika mengenai Islam di Asia Tenggara. "Masalah radikalisme ini sebetulnya dampaknya sama antara laki - laki dan perempuan. Tapi yang lebih membahayakan lagi, karena perempuan ini ada di suatu posisi yang rentan," ujar Siti saat ditemui Republika.co.id, usai menyampaikan pidato pada Rabu (9/8) di UIN Jakarta.

Posisi rentan perempuan dikarenakan mereka tidak memiliki suatu pemikiran yang kritis. Untuk bisa membedakan mana ajaran-ajaran Islam yang sesungguhnya yang benar dan tidak. Karena otoritas untuk memahami alquran, menurut Siti, dominasi oleh laki-laki.

"Dalam posisi yang seperti ini, apa yang kemudian diindoktrinasikan bahwa perempuan itu harus taat pada suami, harus menjadi ibu yang baik, harus berdedikasi pada keluarga. Itu digunakan oleh kelompok garis keras untuk misi mereka," jelas pengajar UIN Sunan Kalijaga tersebut.

Siti memberi contoh, di dalam masyarakat seorang perempuan yang dianggap taat tidak boleh menanyakan apa pun yang dilakukan oleh suaminya. Hal tersebut tentunya menguntungkan laki-laki. Selanjutnya, karena itu dianggap sebagai suatu kebenaran, maka perempuan itu akan mentransferkan hal tersebut kepada anak-anaknya.

"Nah ini sesuatu yang amat sulit untuk diatasi. Karena ini menyangkut masalah pandangan budaya yang begitu luas. Dan juga kesadaran secara individu dari perempuan itu yang mestinya harus dua-duanya dilakukan kalau kita akan melakukan pendampingan," ujar Siti.

Peran perempuan dalam menangkal radikalisme yang dari segi makro harus mendorong budaya masyarakat yang lebih akomodatif terhadap peran-peran perempuan, sehingga dia menjadi suatu contoh.

"Ini kan menjadi suatu masalah tersendiri. Sekarang misalkan kuota 30 persen perempuan di pemilu itu kita masih masalah. Kemudian kekerasan dalam rumah tangga masih banyak. Ini memberikan image bahwa sebetulnya posisi perempuan itu masih rendah," imbuh Siti.

Menurut Siti, perempuan harus didorong untuk dapat menerima alternatif pandangan lain selain yang diberikan oleh suaminya. Alternatifnya adalah menguatkan posisi perempuan sebagai ulama. "Itu juga menjadi sangat penting dan itu butuh waktu lama," kata Siti.

Konferensi Studia Islamika tahun ini merupakan penyelenggaraan yang kedua kalinya. Acara berlangsung pada 8-10 Agustus 2017. Selain Siti Ruhaini, terdapat 2 pembicara kunci lainnya, yakni Direktur Pusat Kesepahaman Buddhis-Muslim Studi Agama Universitas Mahidol, Thailand, Imtiyaz Yusuf. Di hari ketiga, Direktur Institut Analisis Kebijakan Konflik Sidney Jones menjadi pembicara kunci.

Ada pula 23 sesi panel diskusi yang tersebar selama 3 hari penyelenggaraan. Di dalam panel tersebut didiskusikan berbagai makalah hasil karya para peneliti islam Asia Tenggara.

Pada tahun ini konferensi Studia Islamika mengambil tema "South Asian Islam : Religious Radicalism, Democracy and Global Trends."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement