Jumat 28 Jul 2017 17:00 WIB

Wakaf Elemen Penting Filantropi Islam

Tradisi wakaf (ilustrasi).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Tradisi wakaf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu media filantropi dalam Islam yang paling utama, antara lain, wakaf. Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, ada tiga macam wakaf, yaitu wakaf keagamaan, wakaf derma (ini yang disebut sebagai filantropi), dan wakaf keluarga. Wakaf keagamaan contohnya adalah pembangunan Masjid Quba dan Masjid Nabawi.

Sedangkan, wakaf filantropi sendiri tercatat sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Misalnya, ketika Mukhairiq berkehendak mendermakan tujuh bidang kebun buah-buahan miliknya yang ada di Madinah setelah dia meninggal kepada Nabi SAW.

Pada 626 M, Mukhairiq meninggal dunia. Lalu, Nabi SAW mengambil alih kepemilikan tujuh bidang kebun tersebut dan menetapkannya sebagai wakaf derma untuk diambil manfaatnya bagi fakir miskin. Praktik seperti itu diikuti dan terus dijalankan oleh para sahabat Nabi dan para khalifah.

Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar bin Khattab, Umar bin Khattab berkata kepada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki sebidang tanah di Khaibar (di sekitar Kota Madinah) yang aku belum pernah memiliki tanah sebaik itu. Apa nasihat engkau kepadaku?”

Rasulullah SAW menjawab, “Jika engkau mau, wakafkanlah tanah itu, sedekahkanlah hasilnya.” Lalu, Umar pun mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar itu dengan pengertian tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.”

Mengutip laman Bimas Islam Kementerian Agama, diperoleh informasi bahwa sikap kedermawanan Umar tersebut kemudian diikuti oleh sahabat lainnya. Misalnya, Abu Thalhah yang kemudian mewakafkan kebun Bairaha, Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanah di Makkah untuk anak keturunannya yang datang ke tempat suci tersebut, Usman menyedekahkan tanah di Khaibar, Mu'az bin Jabal mewakafkan rumah yang kini dikenal sebagai Dar al-Anshar.

Praktik filantropi ini terus berlanjut dan berkembang pada masa sesudahnya. Pemahaman akan pentingnya melakukan solidaritas sosial ini begitu ditanamkan hingga mengakar dalam ajaran Islam. Bentuk filantropi ini kemudian ditata menjadi lebih rapi dalam sebuah lembaga khusus.

Pada masa Dinasti Umayyah, seorang hakim pada masa Khalifah Hisyam bin Abdul Malik, yaitu yang bernama Taubah bin Ghar al-Hadrami, menaruh perhatian besar pada masalah pengelolaan wakaf ini. Ia kemudian merintis dibentuknya sebuah lembaga wakaf yang berada di bawah pengawasan hakim.

Pada masa Dinasti Abbasiyah, berdirilah lembaga wakaf yang dikenal dengan Shadr al-Waqf. Lembaga ini mengurusi masalah administrasi dan memilih staf yang dipercaya sebagai pengelola lembaga wakaf.

Di Mesir, dalam masa pemerintahan Shalahudin al-Ayubi, pengelolaan wakaf semakin maju lagi. Ia mengeluarkan berbagai kebijakan yang sangat berhubungan dengan sikap filantropi ini. Salah satunya adalah ditetapkannya pungutan bea dan cukai bagi pedagang yang singgah dan kemudian hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada kaum dhuafa.

Pada masa Turki Usmani, pengelolaan wakaf dibuat lebih lengkap lagi. Peraturan untuk membukukan pelaksanaan wakaf, tata cara pengelolaan, sertifikat, mencapai tujuan wakaf, dan melembagakan wakaf pun dikeluarkan.

Pada masa peradaban modern, pelaksanaan filantropi ini mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Hal ini terjadi di negara yang mayoritas penduduknya Muslim, seperti di Tunisia, Mesir, Palestina, Suriah, dan Irak. Pemerintah memberikan perhatian yang lebih dan mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang tata cara administrasi dan pengelolaan harta wakaf.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement